
AS Terancam Default Bulan Depan, Pasar Mulai Gonjang-ganjing!

Di global pada hari ini, pelaku pasar bakal memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yakni pergerakan bursa saham Wall Street yang terpantau berjatuhan kemarin.
Sentimen pasar yang kembali memburuk membuat Wall Street kembali merana. Kekhawatiran pelaku pasar akan krisis perbankan kembali muncul setelah adanya kabar bahwa JPMorgan resmi mengambil alih First Republic Bank.
Meski begitu, nyatanya pasar kembali khawatir dan membuat saham-saham perbankan di AS kembali merana.
Selain itu, masalah utang AS juga tengah menjadi perhatian karena jika permasalahan tersebut tak kunjung diselesaikan, maka potensi AS terkena default akan semakin besar.
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen mengatakan bahwa AS bakal gagal membayar utang (default) pada 1 Juni mendatang.
Hal ini akibat alotnya pembahasan untuk menaikkan plafon utang AS. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kini dipimpin Partai Republik memilih untuk menaikkan menaikkan batas pinjaman nasional.
Untuk diketahui, berdasarkan data yang terbaru per Januari 2023, utang Negeri Paman Sam sudah menembus US$ 31 triliun atau sekitar Rp 461 ribu triliun (kurs Rp 14.900/US$) pada tahun lalu. Angka ini setara dengan 137% dari total produk domestik bruto (PDB) nya.
Artinya batas utang tersebut sudah dicapai, dan Kementerian Keuangan AS tidak bisa lagi menerbitkan obligasi untuk membiayai belanja.
Dari tahun ke tahun, jumlah utang Negara Paman Sam memang terus meningkat, disebabkan defisit fiskal yang terus membengkak, dan semakin terakselerasi memasuki abad 21. AS juga tercatat sebagai negara dengan utang terbanyak di dunia.
Sementara itu dari data tenaga kerja AS, pembukaan pekerjaan mencapai level terendah hampir dua tahun terakhir pada periode Maret lalu, menandakan bahwa pasar tenaga kerja AS semakin lesu.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan Jumlah pembukaan pekerjaan menurut survei JOLTS mencapai 9,59 juta, terendah sejak April 2021 dan berada di bawah perkiraan FactSet sebesar 9,64 juta.
The Fed mengawasi ketat laporan JOLTS sebagai tanda untuk menentukan arah kebijakan suku bunga kedepannya. Menurunnya lowongan pekerjaan adalah hal positif untuk inflasi karena membantu mengurangi tekanan pada kenaikan upah.
Dengan terus lesunya sektor tenaga kerja, maka hal ini juga dapat membawa The Fed semakin melunak, apalagi jika inflasi terus menurun dan mendekati target yang ditetapkan.
Masih dari AS, rilis data ekonomi kembali berlanjut pada hari ini, di mana data PMI jasa versi ISM periode April 2023 akan dirilis. Data ini juga perlu dicermati, mengingat sektor jasa di Negeri Paman Sam juga menjadi sektor cukup vital.
Selain data PMI jasa, data tenaga kerja lainnya juga akan dirilis pada hari ini, yakni data perubahan tenaga kerja versi ADP periode April 2023.
Sementara itu di luar AS, beberapa negara juga akan merilis data ekonomi yang cukup penting seperti data PMI jasa, penjualan ritel, dan tingkat pengangguran.
(chd/chd)