
Tak Peduli Ada Resesi, Bursa Asia Dibuka Bergairah

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka menguat pada perdagangan Selasa (11/4/2023), di mana investor menanti rilis beberapa data ekonomi di kawasan tersebut, terutama data inflasi China.
Per pukul 08:30 WIB, indeks Nikkei 225 Jepang melonjak 1,13%, Hang Seng Hong Kong melesat 0,97%, Shanghai Composite China naik tipis 0,05%, Straits Times Singapura naik 0,11%, ASX 200 Australia melompat 1,36%, dan KOSPI Korea Selatan menguat 0,75%.
Dari China, data inflasi periode Maret 2023 akan dirilis pada hari ini, di mana pasar memperkirakan inflasi di tingkat konsumen (consumer price index/CPI)pada bulan lalu akan naik menjadi 1% secara tahunan (year-on-year/yoy) dan cenderung stabil secara bulanan (month-to-month/mtm).
Sedangkan inflasi di tingkat produsen (producer price index/PPI), diperkirakan akan menurun menjadi 2,5% pada bulan lalu (yoy).
Jika inflasi China sesuai dengan ekspektasi, maka tekanan harga di China akan tampak sangat jinak, memberikan ruang bagi bank sentral (People Bank of China/PBoC) untuk kembali melonggarkan kebijakan dan merangsang ekonomi.
Sementara itu dari Korea Selatan, bank sentral (Bank of Korea/BoK) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya di level 3,5%, sesuai dengan ekspektasi pasar sebelumnya.
Korea Selatan bergabung dengan Australia dan India dalam menghentikan siklus pengetatannya di tengah lingkungan inflasi global karena bank sentral utama lainnya masih terlihat mempertahankan sikap hawkish-nya.
Di lain sisi, bursa Asia-Pasifik yang secara mayoritas menguat terjadi di tengah bervariasinya bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street kemarin.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 0,3% dan S&P 500 naik 0,1%. Namun untuk indeks Nasdaq Composite turun tipis 0,03%.
Saat ini, pasar saham Negeri Paman Saham sedang volatil dan investor masih cenderung wait and see menanti rilis data inflasi terbaru dan pernyataan ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terkait suku bunga, sembari mencerna adanya data pasar tenaga kerja.
Data ketenagakerjaan pada Maret yang dirilis Jumat pekan lalu menunjukkan ekonomi AS yang tangguh, membuat investor melihat potensi The Fed akan mengerek lagi suku bunga pada rapat Mei.
Data tenaga kerja nonfarm payrolls (NFP), misalnya, tumbuh sebesar 236.000 selama Maret, sejalan dengan estimasi Dow Jones sebesar 238.000, atau turun menjadi 3,5%, bertentangan dengan ekspektasi yang diproyeksi bertahan dari bulan sebelumnya di 3,6%.
Pekan ini, investor berada disibukkan dengan sejumlah data ekonomi, termasuk data indeks harga konsumen (inflasi) terbaru dan indeks harga produsen (PPI) yang masing-masing akan dirilis pada hari Rabu dan Kamis.
Data-data tersebut akan menjadi kunci dalam menentukan apakah atau kapan Fed akan berhenti atau mengakhiri kebijakan suku bunga tingginya.
"Dugaan kami adalah pasar saham membutuhkan Goldilocks ekonomi, sedikit perlambatan demi terus mendinginkan ekspektasi inflasi, tetapi tidak terlalu banyak memicu ketakutan 'hard landing'," jelas Raymond James dari Tavis C. McCo.
Selain soal kekhawatiran resesi, pada minggu ini, bank besar AS akan menjadi pembuka musim laporan keuangan-mulai dari JPMorgan, Citigroup, hingga Wells Fargo.
Rilis keuangan sektor perbankan akan menjadi sorotan investor usai pasar keuangan AS mengalami momen kolapsnya dua bank menengah mereka di awal Maret lalu.
Mengutip laporan Wall Street Journal (WSJ) pada Minggu lalu, para analis memproyeksikan perusahaan AS yang tergabung dalam indeks S&P 500 akan mengalami penurunan laba kuartalan.
Mengacu data FactSet, laba kuartal I 2023 perusahaan Negeri Paman Sam tersebut diproyeksikan akan turun 6,8% dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Jika benar demikian, maka hal ini bakal menjadi penurunan laba terdalam sejak kuartal kedua 2020, ketika datangnya pandemi Covid-19 kala itu membuat kontraksi laba hingga 32%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi
