Memahami Goodwill & Tech Winter yang Melanda Sektor Teknologi

Mentari Puspadini, CNBC Indonesia
Kamis, 16/03/2023 16:53 WIB
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Ada yang menarik dari laporan keuangan Sea Ltd yang dipublikasikan pekan lalu. Induk platform e-commerce Shopee yang tercatat di Nasdaq ini bukan hanya mengumumkan keberhasilannya meraih laba pada kuartal IV 2022, juga mencatatkan penurunan goodwill sebesar US$178 juta atau setara dengan Rp2,74 triliun dengan asumsi kurs Rp15.400/US$.

Dalam paparan kinerjanya, Sea menyebut penurunan goodwill tersebut dikarenakan penurunan valuasi ecto yang sebelumnya diakuisisi di segmen digital entertainment. Sea menerangkan penurunan valuasi atau impairment pada goodwill tersebut terjadi di tengah ketidakpastian pasar.

Penurunan goodwill ini dicatatkan Sea baik di neraca keuangan maupun laporan laba rugi. Terlihat hingga 31 Desember 2022, nilai goodwill yang dilaporkan di neraca sebesar US$230 juta di bagian ecto tak ector. Nilai tersebut turun jika dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai US$540 juta.


"Kami mencatat penurunan nilai goodwill sebesar US$ 354,9 juta untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2022 dibandingkan dengan nihil untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2021," tulis Sea dalam keterangan resminya.

Meski hanya sekedar pencatatan akuntansi dan tidak mencerminkan fundamental perseroan, fenomena penurunan goodwill menarik perhatian karena akan terjadi pada banyak perusahaan teknologi lainnya. Terdapat sederet faktor pemicu, tapi ada satu penyebab yang dominan, yakni perubahan kondisi pasar yang sangat drastis dalam setahun terakhir.

Seperti kita tahu, menjelang dan selama periode awal pandemi, industri teknologi, startup dan bank digital menikmati kenaikan valuasi luar biasa tinggi. Investor berekspektasi bahwa perusahaan berbasis teknologi digital akan memainkan peran sangat penting dalam menggerakkan perekonomian pascapandemi, sehingga mendorong valuasi banyak perusahaan tersebut semakin tinggi. Ditambah lagi, periode 2019-2021 yang didominasi suku bunga sangat murah mendorong pemodal ventura dan investor untuk berinvestasi di banyak perusahaan teknologi yang dianggap punya prospek bagus di masa depan.

Kondisi berbalik pada tahun 2022. Ketidakpastian geopolitik dengan konflik Rusia-Ukraina, inflasi yang tinggi memicu suku bunga terus naik, menjadi penghambat banyak sektor untuk bertumbuh. Belum lagi, karena suku bunga yang terus naik, banyak pemilik modal memikirkan lagi pilihan investasi mereka. Dampaknya, sector teknologi yang tadinya menjadi tujuan investasi menarik, mulai ditinggalkan, dan berujung pada tibanya 'musim dingin' teknologi (tech winter).

Perubahan sangat drastis ini tentu membalikkan valuasi. Nilai perusahaan yang melambung tinggi di masa sebelumnya perlu direvaluasi karena sudah tidak relevan. Para pelaku bisnis, khususnya teknologi, yang memiliki goodwill dalam jumlah besar pada posisi keuangannya, mulai menghadapi tantangan.

Sekadar informasi, standar akuntansi mewajibkan perusahaan melakukan pengujian apakah nilai goodwill perusahaan mengalami penurunan. Jika terjadi penurunan nilai goodwill, maka perusahaan harus mencatatkan impairment loss atau rugi atas penurunan nilai goodwill dan diperhitungkan sebagai komponen laba rugi.

Karena tahun 2022 adalah tahun suram perusahaan teknologi, maka penurunan nilai goodwill adalah keniscayaan tak terhindarkan.

Memahami goodwill

Menurut definisi, goodwill adalah aset dalam neraca keuangan perusahaan yang masuk dalam kategori aset yang tidak berwujud. Goodwill akan timbul dalam aksi korporasi berbentuk akuisisi, di mana sebuah perusahaan mengakuisisi perusahaan lain dengan harga lebih tinggi daripada nilai asset wajarnya. Selisih yang dibukukan sebagai goodwill ini tidak dapat diukur dengan pasti, tapi umumnya diidentifikasi sebagai merek dagang, nilai strategis, jumlah konsumen, hak kekayaan intelektual, dan faktor-faktor yang berharga bagi perusahaan untuk bertumbuh ke depannya.

Mengapa lebih mahal dan harus ada goodwill? Goodwill mewakili ekspektasi nilai yang akan didapat dari perusahaan yang diakuisisi di masa depan. Semakin yakin perusahaan bahwa nilai perusahaan tersebut sangat besar di masa depan, tentu harga belinya semakin mahal, dan menumbuhkan pula nilai goodwill.

Contoh, sebuah coffee shop di kawasan SCBD akan diakuisisi oleh kompetitornya. Setelah dilakukan valuasi seperti menghitung arus kas dan setara kas, persediaan bahan baku, nilai sewa bangunan, aset fisik, piutang yang belum ditagih, potensi pendapatan ke depan dan lainnya yang berada di angka Rp500 juta.

Meski nilai wajarnya hanya Rp500 juta, investor tersebut bersedia membeli coffee shop ini seharga Rp1 miliar, seperti yang diminta penjual. Kok mau? Ada beberapa pertimbangan. Antara lain, coffee shop ini berada di area strategis, punya konsumen loyal bahkan database pelanggan, brand nya sudah terkenal dan prospek bisnisnya menjanjikan karena pekerja kantoran sudah kembali WFO.

Pada laporan keuangannya, pembeli mencatat nilai wajar coffee shop senilai Rp500 juta kendati nilai transaksinya Rp1 miliar. Sedangkan Rp500 juta sisanya dicatatkan sebagai goodwill. Pembeli berekspektasi bahwa potensi pendapatan di masa mendatang dan prospek pertumbuhan bisnis akan mampu menggantikan nilai "goodwill" tersebut.

Pengujian penurunan nilai goodwill, atau impairment test, harus dilakukan setiap tahun. Jika hasil pengujian menunjukkan terjadi penurunan nilai goodwill, maka perusahaan harus mengakui kerugian penurunan nilai (impairment loss) goodwill dan diperhitungkan ke dalam laporan laba rugi tahun berjalan.

Menurut CEO SW Indonesia, Michell Suharli, pengujian penurunan nilai terhadap goodwill merupakan hal yang harus dilakukan dan menjadi bagian dari penyajian laporan keuangan yang relevan dan representation faithfulness.

Standar akuntansi juga sudah mengatur bahwa perusahaan harus melakukan pengujian penurunan nilai goodwill, sekurang-kurangnya setahun sekali.

Yang mesti diingat, penurunan nilai goodwill tidak berkaitan langsung atau berbanding lurus dengan kondisi operasional perusahaan. Penurunan nilai goodwill juga tidak berpengaruh kepada likuiditas kas perusahaan.

"Penurunan nilai goodwill itu tentang pencatatan akuntansi. Perusahaan membukukan rugi penurunan nilai goodwill karena kondisi pasar yang memburuk, padahal mungkin saja pada saat bersamaan, bisnis tumbuh dengan luar biasa baik," katanya.

Dalam kaitannya dengan perusahaan teknologi, penurunan nilai goodwill saat ini merupakan keniscayaan. Situasi saat ini sudah tidak sama lagi dengan kondisi tahun sebelumnya. Tekanan terhadap perusahaan teknologi dan menguapnya kapitalisasi pasar sudah pasti menurunkan nilai goodwill. "Justru aneh kalau goodwillnya tidak berubah. Dalam prinsip akuntansi, goodwillnya itu hanya punya dua arah; turun atau stagnan. Kalau berbagai faktor yang memengaruhinya berubah, maka goodwill pun ikut berubah," kata Michell.

Pencatatan penurunan nilai goodwill juga bersifat one-off. Misalkan laporan keuangan tahunan ini menyatakan penurunan nilai goodwill sebesar Rp10 miliar, maka angka ini hanya akan muncul pada laporan laba rugi tahun berjalan saja. Untuk laporan keuangan tahun berikutnya akan menggunakan penurunan nilai goodwill selanjutnya, jika ada. Pendapat saya, investor lebih baik peduli pada perbaikan kinerja operasional perusahaan teknologi, karena lebih mencerminkan pendapatan dari bisnis inti," katanya.


(Mentari Puspadini/ayh)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Risiko Ekonomi, Investasi Modal Ventura Lari Ke Startup Mana?