Dirancang BI, RI Sudah Punya Pengganti Visa & Mastercard!
Jakarta, CNBC Indonesia - Mimpi Presiden Joko Widodo enggan bergantung pada layanan Visa dan Mastercard untuk kartu kredit pemerintah masih tersandung kesiapan domestik, terutama karena prinsipal atau penerbit lokal belum ada yang mampu menggantikan posisi mereka.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, sebetulnya Indonesia sudah memiliki Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang dikembangkan oleh Bank Indonesia. Namun, layanan masih terbatas pada debit, belum sampai kartu kredit.
"GPN tinggal dikembangkan saja ke fasilitas kartu kredit bank domestik. Di China ada Union Pay sebagai alternatif visa dan master card. Problemnya persiapan infrastruktur pembayaran, dan keamanan digital," kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Kamis (16/3/2023)
Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), Steve Marta menambahkan, persoalan layanan GPN yang tak kunjung berkembang mancakupi kartu kredit karena dalam hal pengembangan kartu debit saja terbilang mandek.
Ia menegaskan, layanan kartu debit GPN masih cukup banyak kekurangan bila dibandingkan layanan kartu debit Visa dan Mastercard. Mulai dari penggunaannya yang tak kunjung sampai pada tahapan digital, seperti untuk transaksi e-commerce.
"Kenapa tidak dikembangkan? orang kalau mau GPN besar zamannya e-commerce pasti dia juga bisa transaksi e-commerce, kedua contact less belum bisa, ini sebagai contoh," tuturnya.
Padahal, Steve berpendapat, untuk kartu kredit yang ada saat ini, termasuk yang disediakan Visa dan Mastercard bukan lagi hanya untuk layanan transaksi langsung atau face to face, seperti di toko-toko, melainkan sudah masuk tahap pembayaran di e-commerce, berlaku secara internasional, serta tak perlu lagi kontak fisik.
Oleh sebab itu, ia menganggap, ketika Presiden Jokowi menginginkan supaya layanan kartu kredit pemerintah tidak bergantung dari Visa dan Mastercard seharusnya sistem dan infrastrukturnya sudah disiapkan sejak lama dan tidak terburu-buru digunakan sebelum mampu bersaing.
"Jangan sampai ini terjadi, kalau menurut saya sedikit banyak harusnya par dengan pemain pemain asing. Bisa enggak Undonesia, bisa saya rasa, negara-negara lain juga bisa," tegasnya.
Dengan perkembangan layanan penerbit kartu kredit saat ini, mulai dari negara-negara maju seperti Visa dan Mastercard, serta China melalui Union Pay, seharusnya Indonesia kata dia sudah punya prinsipal kartu kredit sendiri, karena tinggal mencontoh pengembangan mereka.
"Paling gampang kan nyontoh, bukan hal sesuatu yang kita harus pikirkan dari nol. Jangan sampai kita kalah, kalau kita kalah nanti asal ada kartu debit, asal ada kartu kredit lokal, tapi nanti penggunaannya enggak memenuhi kebutuhan masyarakat, buat apa," tegas dia.
Layanan kartu kredit pemerintah yang masih bergantung pada Visa dan Mastercard telah menjadi perhatian Presiden Joko Widodo sendiri. Dia menginginkan ke depan kartu kredit pemerintah menggunakan layanan penerbit dalam negeri.
"Penggunaan kartu kredit pemerintah daerah, zamannya sudah digital seperti ini, mestinya ini semua bisa menggunakan. Kalau kita bisa menggunakan itu bisa mandiri," kata Jokowi dalam Pembukaan Business Matching Produk Dalam Negeri di Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Permintaan tersebut bukannya tanpa alasan. Jokowi menceritakan kejadian yang menimpa Rusia ketika pecah perang di Ukraina pada Februari 2022. Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberikan sanksi kepada Rusia, diikuti oleh kebijakan perusahaan asal AS.
"Dan hati hati, kita ingat sanksi dari AS ke Rusia, visa dan mastercard menjadi masalah," jelasnya.
Maka dari itu, Indonesia harus mandiri dari sisi sistem pembayaran. "Kalau kita bisa memakai platform kita sendiri dan itu menyebar semuanya menggunakan dimulai dari KL, provinsi, kabupaten, kota kita akan lebih tenang," tegas Jokowi.
(mij/mij)