
Krisis Perbankan Meluas, Bursa Asia Dibuka Kebakaran Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka terkoreksi parah pada perdagangan Kamis (16/3/2023), imbas dari semakin meluasnya dampak krisis perbankan, di mana giliran Credit Suisse yang membuat guncang pasar Eropa.
Indeks Nikkei 225 Jepang dibuka ambruk 1,75%, Hang Seng Hong Kong ambles 1,61%, Shanghai Composite China melemah 0,58%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,79%, ASX 200 Australia anjlok 1,96%, dan KOSPI Korea Selatan merosot 0,99%.
Dari Jepang, defisit neraca perdagangan Jepang melebar atau naik 26,2% menjadi JPY 897,7 miliar, pada Februari lalu.
Menurut data pemerintah, ekspor Jepang pada bulan lalu naik 6,5% (year-on-year/yoy), sementara impor tumbuh 8,3% (yoy). Ini lebih rendah dari perkiraan yang diajukan oleh para ekonom, yang mengharapkan pertumbuhan ekspor dan impor masing-masing sebesar 7,1% dan 12,2% (yoy).
Khususnya, ekspor Jepang ke Eropa dan Amerika Serikat (AS) masing-masing tumbuh 18,6% dan 14,9% (yoy), sementara ekspor ke China turun 10,9% (yoy).
Koreksinya bursa Asia-Pasifik terjadi di tengah lesunya kembali sebagian indeks utama di bursa AS, Wall Street kemarin, karena dampak krisis dari Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank di AS sudah mulai meluas ke beberapa negara, terutama di Eropa.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup terkoreksi 0,87% dan S&P 500 melemah 0,73%. Namun untuk indeks Nasdaq Composite naik tipis 0,05%.
Krisis perbankan mulai meluas, di mana Setelah SVB dan Signature Bank menggoyang pasar keuangan Amerika, kini giliran Credit Suisse yang membuat guncang pasar Eropa.
Meluasnya krisis perbankan semakin meningkatkan kekhawatiran pasar jika ada persoalan besar dalam sistem perbankan global.
Saham Credit Suisse sudah turun selama delapan hari perdagangan dengan pelemahan menembus 39%.
Persoalan Credit Suisse bermula setelah mereka mengakui ada "kelemahan material" yakni kelemahan dalam kontrol internal mereka ketika bank terlambat merilis laporan keuangan.
Bank dengan operasional terbesar di Swiss tersebut menunda rilis laporan keuangan mereka yang seharusnya diserahkan kepada Komisi Sekuritas dan Bursa AS pekan lalu.
Keterlambatan terjadi karena mereka merevisi laporan arus kas perusahaan pada 2019 dan 2020.
Sebagai catatan, laporan keuangan 2022 menyebut bank yang berdiri sejak 1856 tersebut mencatat rugi bersih senilai US$ 7,8 miliar.
Kerugian salah satunya oleh penarikan dana besar-besaran hingga menembus 110 billion francs atau sekitar US$ 120 miliar (Rp 1.843,2 triliun).
Persoalan semakin runyam karena investor terbesar mereka, Saudi National Bank, menolak memberikan tambahan modal karena terbentur aturan kepemilikan saham maksimal 10%.
Kepemilikan mereka kini mencapai 9,9%. Saudi National Bank membeli saham Credit Suisse saat bank tersebut mengumpulkan dana hingga US$ 4,2 miliar pada 2022 sebagai bagian dari restrukturisasi dan perbaikan kinerja.
Bank beraset 530 miliar franc atau sekitar US$ 573 miliar (Rp 8.801 triliun) tersebut memang diketahui kerap ditimpa masalah.
"Faktor utama dari kejatuhan pasar saat ini adalah hilangnya kepercayaan. Ini adalah bentuk ketakutan karena pasar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi (pada bank-bank)," Mark Stoeckle, CEo dari Adams Funds, dikutip dari CNBC International.
Besarnya dampak krisis sektor perbankan meredam sentimen positif dari pergerakan inflasi di tingkat produsen (Indeks Harga Produsen/IPP) dan penjualan ritel AS.
Pada Rabu malam waktu Indonesia, AS mengumumkan jika IPP mereka terkontraksi 0,1% pada Februari 2023 dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm).
Indeks Indeks lebih rendah dibandingkan ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan 0,3%. Secara tahunan (yoy), indeks naik 4,6% pada Februari 2023 atau terendah sejak Maret 2021.
AS juga mengumumkan jika penjualan ritel mereka pada Februari 2023 terkoreksi 0,4% (mtm), lebih dalam dibandingkan ekspektasi pasar (koreksi 0,3%).
Indeks jauh memburuk dibandingkan Januari yang tercatat 3,2% (mtm).
Penjualan ritel secara tahunan hanya naik 5,4% (yoy) pada Februari 2023, jauh di bawah penjualan pada Januari yang tercatat 7,7% (yoy).
Data ini semakin menegaskan jika ekonomi AS mulai mendingin setelah tumbuh kencang. Data inflasi AS juga menunjukkan inflasi sudah melandai ke 6% (yoy) pada Februari, dari 6,4% (yoy) pada Januari.
Dengan inflasi, IPP, dan penjualan ritel yang melemah, serta adanya krisis perbankan di AS, maka pelaku pasar semakin optimis jika bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan melunak.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi
