
Bank Raksasa AS Bangkrut, Siap-siap Ada Pertumpahan Darah

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed) mengadakan rapat darurat pada Senin (13/3/2023) waktu setempat, pasca kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) pada akhir pekan lalu.
Ekonom Nouriel Roubini, atau yang dikenal dengan Dr. Doom, ketika sukses memprediksi krisis finansial 2008, melihat kondisi ekonomi saat ini mirip dengan 2007/2008, terutama dari aspek tingginya utang negara dan korporasi. Hal ini bisa memicu krisis yang parah.
The Fed yang terus menaikkan suku bunga dikatakan akan menciptakan banyak 'perusahaan zombie', perusahaan yang dibentuk saat era suku bunga rendah, tetapi hingga saat ini belum mampu menghasilkan laba untuk membayar utang.
"Mengingat kekacauan SVB, FOMC semestinya tidak lagi menaikkan suku bunga hingga 50 basis point (bps) pada pertemuan berikutnya. Paling tidak 25 bps atau bahkan menahan untuk menunggu dan melihat apa yang terjadi di pasar keuangan," jelas Roubini seperti dikutip dalam akun Twitternya, Senin (13/3/2023).
Roubini mengungkapkan, ada risiko penurunan global karena bank besar Eropa saat ini sangat rapuh dan kondisi keuangannya tidak sepenuhnya jelas.
Sementara beberapa aset SVB belum bisa meningkatkan keamanan ekuitasnya. Saat ini, menurut Roubini akan banyak Bank AS lainnya yang akan kehilangan sepertiga atau setengah dari modal mereka jika kerugiannya tidak bisa teratasi.
"Bahkan sedikit simpanan mereka (bank-bank di AS) akan memaksa mereka untuk menjual sekuritas seperti SVB," ujar Roubini.
"Ekuitas keseluruhan mereka adalah US$ 2,2 triliun. Itu adalah 28% dari ekuitas, termasuk bank seperti JPM atau Citi yang rasionya jauh lebih rendah. Bagi banyak kecil, rasionya mendekati 50%. Jadi jika investor lari, mereka akan hampir mati seperti SVB," jelas Roubini lagi.
Adapun melansir situs resmi The Fed, Bank Sentral AS itu akan melakukan pertemuan secara tertutup.
Rapat dilakukan untuk melakukan peninjauan kembali dan menentukan discount rate atau bunga pinjaman yang dikenakan bank komersial oleh The Fed di masing-masing wilayah.
Seperti diketahui, The Fed sangat agresif dalam menaikkan suku bunga sejak tahun lalu guna meredam inflasi. Dalam satu tahun, The Fed menaikkan Federal Funds Rate (FFR) sebesar 450 basis poin menjadi 4,5% - 4,75%, tertinggi sejak 2007 dan menjadi yang teragresif dalam empat dekade terakhir.
Tingginya suku bunga The Fed menjadi salah satu penyebab kolapsnya SVB. Banyak perusahaan startup menarik deposito mereka di SVB akibat kondisi saat ini menyulitkan untuk IPO. Penarikan dana yang ditempatkan di bank menjadi jalan untuk menstabilkan kondisi finansial.
Dampaknya, SVB menjadi kekurangan modal. Bahkan, SVB menjual obligasi yang dimiliki dengan kerugian mencapai US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 27,8 triliun (kurs Rp 15.445/US$). Lagi-lagi suku bunga The Fed yang tinggi menjadi biang kerok kerugian tersebut.
Suku bunga yang tinggi membuat harga obligasi AS (Treasury) saat ini jatuh, tercermin dari imbal hasil (yield) yang melesat naik.
Merujuk pada data Refinitiv, imbal hasil surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun pada akhir Februari 2022 atau sebelum kenaikan suku bunga The Fed ada di kisaran 1,84%. Imbal hasil sudah menembus ke kisaran 3,7% pada Jumat (9/3/2023).
Di sisi lain, Menteri Keuangan AS Janet Yellen menegaskan tidak ada opsi bailout dalam upaya menyelamatkan SVB. Yellen mengungkapkan pemerintah dan otoritas keuangan kini tengah menyiapkan sejumlah upaya penyelamatan SVB.
Penyelamatan SVB yang akan dilakukan salah satunya dengan mencari investor baru ataupun menjual aset mereka. Namun, bailout bukan opsi.
Yellen menggelar rapat mendadak pada akhir pekan lalu, setelah SVB kolaps pada Jumat (10/3/2023).
Bank yang berdiri pada 1983 tersebut kolaps hanya 48 jam setelah berencana mengumpulkan dana sebesar US$ 2,25 miliar untuk menambah suntikan modal.
"Selama Krisis Keuangan, ada banyak investor dan pemilik dari bank besar yang dibailout. Reformasi sudah dilakukan dan berjalan pada tempatnya. Kami tegasan jika kami tidak akan melakukan bailout lagi," tutur Yellen, berbicara dalam program "Face the Nation" CBS, dikutip dari CNBC International, Senin (13/3/2023).
Yellen mengatakan sistem perbankan saat ini sudah tangguh untuk menghadapi krisis seperti SVB. Adapun fokus pemerintah dan otoritas lain saat ini adalah memenuhi hak-hak nasabah.
"Sistem perbankan Amerika sudah sangat aman dan memiliki cukup modal. Sistem sudah tangguh. Kami akan fokus kepada nasabah dan pada upaya untuk memenuhi hak dan kebutuhan mereka," ucap Yellen.
SVB ditutup pada Jumat pekan lalu dan kini tengah dalam pengawasan kurator. Bank yang banyak membiayai dan menyimpan dana startup serta venture capital tersebut memiliki aset senilai US$ 209 miliar atau sekitar Rp3.228,1 triliun.
Mereka juga memiliki simpanan nasabah sekitar US$175,4 miliar atau sekitar Rp 2.709,1 triliun per akhir 2022. Dengan aset sebesar itu, SVB merupakan bank dengan aset terbesar ke-16 di AS.
Limbungnya SVB diperparah dengan banyaknya nasabah dan investor yang menarik dananya. Hingga Kamis (9/3/2023), penarikan modal dari SVB menembus US$ 42 miliar atau Rp 648,69 triliun.
(cap/cap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tok! Pemerintah AS Tak Akan Bailout Bank Raksasa SVB
