Krisis SVB Bikin Investor Resah, Bursa Asia Kompak Ambruk

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
13 March 2023 08:37
A man uses a mobile phone next to an electronic board showing Japan's Nikkei average outside a brokerage in Tokyo, Japan, October 12, 2018.   REUTERS/Toru Hanai
Foto: Ilustrasi Bursa Tokyo (REUTERS/Toru Hanai)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka terkoreksi pada perdagangan Senin (13/3/2023), di mana investor khawatir bahwa krisis yang menimpa Silicon Valley Bank (SVB) dapat membawa kembali ekonomi global menuju krisis yang pernah terjadi tahun 2008 silam.

Indeks Nikkei 225 Jepang dibuka ambruk 2,59%, Hang Seng Hong Kong, Shanghai Composite China turun tipis 0,06%, Straits Times Singapura melemah 0,26%, ASX 200 Australia merosot 0,99%, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 0,74%.

Bursa Asia-Pasifik cenderung mengikuti pergerakan bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street yang ditutup berjatuhan, karena investor khawatir dengan krisis SVB yang dapat mempengaruhi perekonomian global.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambles 1,07%, S&P 500 ambrol 1,44%, dan NASDAQ Composite anjlok 1,76%.

S&P sektor keuangan sempat anjlok hingga 4,1% pada Kamis pekan lalu, menjadi yang terburuk sejak Juni 2020. Penurunan tersebut salah satunya dipicu oleh ambruknya saham SVB Financial, indeks SVB, sebesar 60% pada Kamis pekan lalu.

SVB kolaps hanya 48 jam setelah berencana mengumpulkan dana sebesar US$ 2,25 miliar untuk menambah modal dan menyeimbangkan neraca mereka pada Rabu pekan lalu.

Kolapsnya SVB ini bahkan dinilai sebagai kegagalan terbesar sejak Krisis Keuangan 2008/2009. Kejatuhan SVB bermula dari rencana mereka untuk menambah modal sekitar Rp 2,25 miliar pada Rabu lalu.

Sebesar US$ 1,25 miliar atau sekitar Rp 19,31 triliun diharapkan diperoleh melalui penjualan saham sementara sebesar US$ 500 juta atau sekitar Rp 7,7 triliun melalui saham preferen konvertibel.

SVB juga telah mengumumkan deal dengan perusahaan investasi General Atlantic senilai US$ 500 juta melalui penjualan saham.

Namun, upaya pengumpulan dana yang semula diharapkan bisa menyelamatkan perusahaan malah gagal. Investor melihat upaya SVB untuk menambah dana sebagai bentuk 'alert" jika kondisi mereka tidak baik-baik Saja.

Terlebih, SVB merugi hingga US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 27,8 triliun akibat menjual obligasi yang dimiliki mereka di bawah harga.

SVB menjual obligasi, sebagian besar adalah surat utang pemerintah AS, Bond yang dijual senilai US$ 21 miliar atau sekitar Rp 324,35 triliun.

Rata-rata imbal hasil (yield) pada bond tersebut di kisaran 1,79%, jauh di bawah yield saat ini di kisaran 3,9%. Akibatnya perusahaan merugi.

Persoalan keuangan SVB membuat nasabah dan investor mereka panik dan menarik uangnya secara besar-besaran, terutama di AS.

Menteri Keuangan AS, Janet Yellen menegaskan tidak ada opsi bailout dalam upaya menyelamatkan SVB.

Pemerintah dan otoritas keuangan kini tengah menyiapkan sejumlah upaya penyelamatan SVB, termasuk dengan mencari investor baru ataupun menjual aset mereka. Namun, bailout bukan opsi.

"Selama Krisis Keuangan, ada banyak investor dan pemilik dari bank besar yang dibailout. Reformasi sudah dilakukan dan berjalan pada tempatnya. Kami tegaskan jika kami tidak akan melakukan bailout lagi," tutur Yellen, berbicara dalam program "Face the Nation" CBS, dikutip dari CNBC International.

Krisis bank SVB membuat sentimen positif dari pasar tenaga kerja AS redam. Pada Kamis pekan lalu, AS mengumumkan jika jumlah pekerja yang mengajukan klaim pengangguran pada pekan yang berakhir per 4 Maret 2023 mencapai 211.000 orang. Jumlah tersebut naik 21.000 dibandingkan pekan sebelumnya.

Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat lalu juga mengumumkan angka pengangguran AS mencapai 3,6% pada Februari 2023.

Angka tersebut naik dibandingkan 3,4% pada Januari lalu dan di atas ekspektasi pasar di kisaran 3,4%. Kenaikan angka pengangguran seharusnya menjadi berita gembira karena diperkirakan akan menjadi pertimbangan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk melunakkan kebijakan agresifnya.

Namun, sentimen tersebut tidak cukup kuat untuk menopang kinerja bursa Wall Street.

"Pasar keuangan kini mencoba katalis bullish tetapi tidak menemukan satupun," tutur Adam Sarhan, CEO of 50 Park Investments, dikutip dari CNBC International.

CNBC INDONESIA RESEARCH


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular