Bumiputera Sakti, Berkali-kali Mau Mati, Selalu Hidup Kembali
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah dilanda masalah keuangan yang membuatnya 'mati suri', asuransi Bumiputera berencana untuk kembali menjual produk asurasinya. Hal tersebut menyusul telah disetujuinya rencana penyehatan keuangan perusahaan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pola seperti ini memang kerap terjadi sepanjang sejarah Bumiputera. Tiap kali ada krisis, langsung ada pertolongan datang dari pihak eksternal untuk menyelamatkan perusahaan.
Melihat pada sejarah, awal mula Asuransi Jiwa Bumiputera (AJB) ditarik mundur ke tahun 1912. Cerita bermula ketika guru bahasa Jawa di Yogyakarta bernama Mas Ngabehi Dwidjosewojo ditawari bergabung menjadi bagian dari perusahaan asuransi pertama di Indonesia, Nederlandsch Indische Levensverzekering en Lijfrente Maatschappij (NILLM).
Sebagaimana dipaparkan Edward S. Simanjuntak dalam "Raksasa Bumiputera dari Tangan Guru" (Prisma, No.2 Tahun XVIII 1989) dari penawaran tersebut, Mas Ngabehi justru terpikirkan untuk membuat asuransi sendiri. Awalnya dia menawarkan gagasan ke organisasi Boedi Oetomo. Karena tak disetujui, dia menawarkannya ke Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB).
Singkat cerita, PGHB setuju pada usulan itu dan tepat pada 12 Februari 1912, Onderlinge Lavensverzakering Maatschappij Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (OLMij PGHB) pun berdiri.
Sejak awal para pemegang polis adalah pemilik perusahaan dan tidak ada pihak di luar para anggota itu yang mengendalikan perusahaan. Besaran premi asuransi antara 0,75 gulden sampai 8,40 gulden. Lama kontrak 10 sampai 25 tahun. Jumlah uang tanggungan 250 gulden sampai 6.000 gulden.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda mendukung lewat subsidinya sebesar 300 gulden tiap bulan setelah 1 Oktober 1913, dengan catatan para anggota pemegang polisnya tak hanya para guru saja, tetapi juga para pegawai negeri unsur lain. Sejak 1 Januari 1914, asuransi terbuka bagi semua pegawai negeri kolonial.
Irvan Rahardjo dalam Robohnya Asuransi Kami (2020) mencatat, seiring perkembangannya selama 100 tahun pertama, asuransi ini sering dilanda krisis. Yang paling sering adalah kesulitan biaya operasional. Manajemen selalu gagal menghitung baik kondisi finansial. Dampaknya, arus pengeluaran lebih besar ketimbang pendapatan. Akibat keteledoran ini perusahaan sering gagal membayar premi.
Meski berulang kali jatuh, Bumiputera semakin berkembang walau harus dicapai dengan susah payah. Hal ini terjadi karena produk asuransi yang tersedia di Indonesia sangat minim. Mau tidak mau karena tidak ada pilihan lain penduduk menjatuhkan pilihan, salah satunya, kepada Bumiputera. Terlebih asuransi kala itu cukup dibutuhkan agar menjaga kegiatan usaha dari resiko kebakaran dan kerusakan barang.
Namun, ada satu masa yang membuat Bumiputera terperosok ke ambang kebangkrutan. Ini terjadi pada tahun 1938, disebabkan karena perusahaan menyelewengkan dana nasabah untuk membeli pesawat tempur menghadapi Jerman. Tanpa sepengetahuan nasabah, perusahaan tiba-tiba membeli pesawat tempur yang tak ada kaitannya dengan siste asuransi.
Alhasil, banyak nasabah yang menyatakan berhenti menjadi anggota dan menuntut kembali haknya. Sejak saat itu Bumiputera kehilangan pamor dan makin mandek ketika masuk penjajahan Jepang. Barulah kebangkitan terjadi ketika kemerdekaan. Hal ini terjadi karena Sukarno dan Hatta resmi menjadi pemegang polis yang berakibat pada meningkatnya kembali kepercayaan terhadap Bumiputera.
Sampai tahun 1980-an, asuransi tertua kedua di Indonesia ini tetap menjadi 'raja'. Hingga akhirnya mulai tenggelam usai munculnya perusahaan asuransi swasta di Indonesia. Dan semakin tenggelam ketika terjadi masalah keuangan pada tahun 1997 yang terus berlarut hingga kini.
(mfa/mfa)