
Sudah 17 Tahun Produksi Minyak di Bawah Sejuta, Salah Siapa?

Deputi Eksploitasi SKK Migas, Wahju Wibowo menjelaskan sejumlah faktor membuat realisasi lifting di bawah target. Termasuk di dalamnya adalah pandemi Covid-19.
"Ada beberapa waterfall, ada beberapa klaim yang lebih tua pengeboran di lapangan, belum target improve. Adanya juga unplanned shut down. Gas juga penjelasan yang sama cenderung flat, unplanned tinggi," ungkap Wahju dalam Konferensi Pers, Rabu (18/1/2023).
Praktisi sektor hulu migas Tumbur Parlindungan menjelaskan anjloknya lifting minyak gas merupakan dampak dari penurunan laju alamiah (natural decline) dan berkurangnya eksplorasi.
"Selama belum ada penemuan besar lagi yang baru ya tidak akan naik signifikan liftingnya. Tiap tahun kan ada natural decline, sehingga kalau mau liftingnya naik ya harus dicari sumber baru," tutur Tumbur, kepada CNBC Indonesia.
Dia menambahkan salah satu penemuan besar terakhir Indonesia adalah oleh ExxonMobil pada 2001. Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu diperkirakan memproduksi hingga 220.000 bpd.
Menurut Tumbur, aktivitas eksploitasi seperti workover, well service ataupun development wells drilling memang akan meningkatkan produksi minyak. Namun, produksi tidak akan maksimal.
Dia mengingatkan eksplorasi minyak sudah jauh berkurang dibandingkan pada periode-periode sebelumnya. Padahal, eksplorasi merupakan syarat utama menemukan ladang minyak baru.
Dalam catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), aktivitas eksplorasi pada 2022 mencakup 30 sumur.
Eksplorasi rencananya akan ditingkatkan pada tahun ini menjadi sebanyak 57 sumur. Meskipun meningkat, jumlahnya jauh berkurang pada periode sebelumnya.
Merujuk data APBN 1982/1983, pengeboran baru dilakukan terhadap 179 sumur pada 1980.
Selain eksplorasi, nilai investasi di sektor migas juga turun dari sekitar US$ 1 miliar menjadi US$ 0,6 miliar pada 2021. Target investasi 2023 ditingkatkan menjadi sebesar US$ 1,7 miliar.
(mae/mae)