
Praktik 'Jaga Harga' Saham IPO, Legal Atau Ilegal?

Jakarta, CNBC Indonesia - Setiap perusahaan yang ingin 'Go Public' tentu membutuhkan mitra. Salah satunya adalah mitra dari sekuritas yang selain berperan sebagai underwriter. Tetapi, underwriter seringkali juga bertindak sebagai pihak yang 'menjaga' harga saham emiten yang baru saja IPO baik secara formal maupun informal.
Seperti diketahui, IPO merupakan proses ketika suatu perusahaan melepas sebagian sahamnya ke publik dengan tujuan utama memperoleh pendanaan. Mekanisme IPO memang kompleks, akan tetapi pihak yang memainkan peran besar dalam IPO adalah broker.
Perusahaan yang berencana IPO harus menunjuk Anggota Bursa (AB) atau perusahaan sekuritas sebagai middle man yang menjembatani antara investor dengan investee, dalam hal ini adalah emiten.
Salah satu divisi yang aktif terlibat dalam proses IPO mulai dari awal sampai akhir adalah Investment Banking (IB). Mereka inilah yang mengurusi IPO mulai dari yang sifatnya administratif, kepatuhan terhadap peraturan OJK dan BEI, melakukan deal dengan investor hingga pembuatan dokumen prospektus.
Divisi IB berperan besar dalam mengatur struktur IPO hingga bernegosiasi dengan investor. Di Indonesia, dari sekian banyak IPO kebanyakan merupakan IPO yang sifatnya strategic IPO.
Secara sederhana strategic IPO merupakan proses penggalangan dana yang dilakukan oleh perusahaan di pasar modal dengan melibatkan investor strategis. Broker termasuk IB akan membantu meng-arrange deal antara emiten dengan investor strategis tersebut.
Bisa dikatakan investor strategis ini bertindak sebagai standby buyer saham emiten yang akan dilepas ke publik. Apabila dalam suatu kasus ada perusahaan yang ingin IPO dengan melepas 20% saham baru dalam portepel dan mengincar pendanaan sebesar Rp 100 miliar, investor strategis akan meborong sebagian besar saham yang dilepas tersebut.
Dalam banyak kasus jumlah saham yang diborong oleh investor strategis ini bisa mencapai hingga 75% dari total saham yang ditawarkan bergantung kepada jumlah proceeds IPO. Sisanya akan dilepas dan dilemparkan ke investor ritel.
Bagaimanapun juga alasan banyak perusahaan memilih IPO stratejik salah satunya adalah aspek kemudahannya. Menawarkan suatu project IPO ke big fund secara langsung jelas lebih praktis ketimbang menawarkan kepada investor ritel dengan dana yang relatif terbatas dan jumlah yang banyak.
Keuntungan kedua adalah, dengan mayoritas saham diserap oleh investor strategis, maka prinsip monopoli berlaku. Artinya harga saham dapat di-maintain karena memiliki mayoritas saham yang beredar.
Faktor inilah yang membuat mengapa harga saham-saham IPO di hari-hari awal pasca listing langsung melesat tajam dan bahkan tak jarang mengalami Auto Reject Atas (ARA) hingga berjilid-jilid karena mayoritas barang (saham) digenggam oleh satu atau sekelompok (konsorsium) investor.
Bisa dikatakan investor strategis inilah yang sering disebut sebagai 'bandar' alias 'market maker' yang mengendalikan harga melalui broker. Coba bayangkan jika seluruh IPO ditawarkan ke publik terutama investor ritel dengan porsi besar. Harga saham akan jauh lebih berfluktuasi dan bahkan longsor berhari-hari pasca IPO dan tentunya bukan sesuatu hal yang elok bagi emiten.
Dalam kasus fenomena IPO strategic seperti ini wajar jika investor ritel yang ingin ikut berpartisipasi membeli saham hanya mendapat jatah yang sangat sedikit. Seringkali dari mereka (investor ritel) yang ikut bidding hanya mendapat jatah minimal yakni 10 lot saja.
Apabila ikut antre dengan nilai ratusan juta hingga miliaran rupiah seringkali mendapat jatah di bawah 1% dari nominal pemesanan. Fenomena ini juga yang membuat banyak IPO strategis cenderung kelebihan pesanan atau oversubscribed karena investor ritel berbondong-bondong melakukan pembelian karena mengetahui jatah yang diberikan akan kecil secara persentase.
Mekanisme IPO strategic ini bisa dikatakan sebuah mekanisme yang informal dalam konteks menjaga harga saham karena tidak dijelaskan secara mendetail dalam dokumen prospektus perusahaan.
Namun ada juga mekanisme IPO untuk menjaga harga saham tetapi dengan mekanisme formal. Patokan formal di sini adalah yang tertera di dalam prospektus, mendapat ijin regulator, dan sudah legal secara regulasi. Salah satu yang kasus IPO dengan mekanisme maintaining harga yang dilakukan secara formal adalah pada kasus IPO GOTO.
Tentu masih ingat di benak kita semua, GOTO listing di BEI ketika sentimen terhadap saham-saham teknologi sedang kurang positif. Dalam rangka untuk melakukan stabilisasi harga saham, maka disertakan juga skema greenshoe option dalam IPO tersebut.
Tujuan stabilisasi harga tersebut agar saham GOTO tidak jatuh ke bawah harga yang ditetapkan saat IPO di Rp 338/unit.
Di sini GOTO menunjuk agen stabilisasi yaitu PT CGS-CIMB Sekuritas Indonesia. Lewat mekanisme yang disebut sebagai greenshoe option, GOTO menyiapkan dana stabilisasi sebesar Rp 2,05 triliun atau setara dengan 6,09 miliar saham.
Secara sederhana, mekanisme stabilisasi dilakukan jika terjadi aksi jual yang massif sehingga membuat harga saham jatuh mendekati level yang ditentukan. Dalam kasus GOTO, CGS-CIMB Sekuritas akan langsung memborong sahamnya ketika harganya turun mendekati level IPO.
Aturan Green Shoe diatur dalam Peraturan Bapepam-LK No.XI.B.4 tentang Stabilisasi Harga Saham dalam Rangka Penawaran Umum Perdana (IPO). Intinya, regulasi ini membolehkan emiten melakukan intervensi atau stabilisasi harga dengan ketentuan maksimal 15% dari saham IPO dengan jangka waktu pelaksanaan maksimal 30 hari.
Dari sudut pandang investor, IPO dengan opsi greenshoe memberikan rasa aman bahwa setelah listing harga saham akan terus dijaga sehingga tidak jatuh di bawah harga penawaran perdananya. Strategi stabilisasi harga yang kedua ini juga menjadi contoh mekanisme menjaga harga yang dilakukan secara formal.
(trp)