Jokowi Effect Memudar, Rupiah Kini Tunggu Petunjuk Perry
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah mengakhiri penguatan tajam 4 hari beruntun pada perdagangan Selasa (17/1/2023). Rupiah sebelumnya mendapat momentum penguatan dari rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE). Kini pelaku pasar menanti pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) Kamis lusa.
Melansir data Refinitiv, rupiah pada perdagangan hari ini melemah 0,8% ke Rp 15.160/US$. Sementara dalam 4 hari sebelumnya penguatan tercatat sebesar 3,4%, kemarin rupiah bahkan sempat menyentuh Rp 14.975/US$, level terkuat sejak 20 September 2022. Dengan penguatan tersebut, maka wajar terjadi koreksi teknikal yang membuat pelemahan rupiah menjadi tajam hari ini.
Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan, penguatan rupiah dalam 4 hari sebelumnya ditopang karena berbagai sentimen positif salah satunya revisi PP tersebut.
Dalam revisi ini, beberapa sektor baru masuk ke dalam daftar yang harus menempatkan DHE kepada regulator. Tidak hanya itu, DHE nantinya akan ditahan lebih lama di dalam negeri.
"Sejauh ini masih relatif baik, sentimen masih banyak yang positif," jelas David.
"Likuiditas valas di awal tahun ini ada tambahan pasokan dari obligasi pemerintah, trade yang masih surplus, dan harapannya ekspektasi market masih positif tentang DHE," kata David lagi.
Isu tirisnya pasokan dolar AS di dalam negeri terlihat dari neraca perdagangan yang sudah mencatat surplus dalam 32 bulan beruntun, tetapi cadangan devisa malah terus menurun.
Dengan DHE yang ditahan lebih lama di dalam negeri, pasokan valas akan bertambah, dan tekanan terhadap rupiah berkurang.
Sementara itu Gubernur BI Perry Warjiyo dan kolega memulai Rapat Dewan Gubernur (RDG) Rabu besok.
Hasil polling Reuters menunjukkan BI diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 5,75%. Dengan demikian, selisih suku bunga akan kembali melebar. Tetapi pasar juga menanti proyeksi suku bunga ke depannya, apakah BI akan menaikkan suku bunga hingga 6% atau 6,25%.
Sebab, bank sentral AS (The Fed) diperkirakan akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya pasca rilis data inflasi yang menunjukkan penurunan.
Pasar kini melihat The Fed akan menaikkan suku bunga masing-masing 25 basis poin pada Februari dan Maret menjadi 4,75% - 5%. Proyeksi tersebut lebih rendah dari sebelumnya di mana pasar melihat puncak suku bunga The Fed di 5% - 5,25%.
Dengan selisih suku bunga yang dipertahankan 125 basis poin, atau mungkin lebih lebar lagi, capital outflow bisa semakin deras masuk ke pasar obligasi Indonesia.
Sejauh ini kebijakan BI sukses membuat investor asing kembali masuk ke pasar obligasi sekunder dalam dua bulan terakhir.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), pada November 2022 tercatat capital inflow sebesar Rp 23,7 triliun. Kemudian pada Desember meningkat menjadi Rp 25,3 triliun.
Sementara sepanjang di awal tahun ini hingga 12 Januari capital inflow di pasar obligasi sekunder mencapai Rp 16,3 triliun.
Inflow tersebut juga membantu rupiah menguat melawan dolar AS.
(pap/pap)