Duh, Bursa Asia Dibuka Loyo Nih, IHSG Kudu Waspada

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
17 January 2023 08:44
Bursa China
Foto: Bursa China (Reuters)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka terkoreksi pada perdagangan Selasa (17/1/2023), jelang rilis data pertumbuhan ekonomi China pada kuartal IV-2022.

Hanya indeks Nikkei 225 Jepang yang dibuka di zona hijau pada hari ini. Per pukul 07:05 WIB, indeks Nikkei menguat 0,38%.

Sedangkan sisanya dibuka di zona merah. Indeks Hang Seng Hong Kong dibuka melemah 0,36%, Shanghai Composite China turun tipis 0,05%, Straits Times Singapura juga turun tipis 0,01%, ASX 200 Australia terkoreksi 0,14%, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi tipis 0,03%.

Dari China, data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) pada kuartal IV-2022 akan dirilis pada hari ini. Pasar memperkirakan ekonomi China masih akan melambat pada kuartal IV-2022, karena pembatasan Covid yang ketat, menyeret pertumbuhan 2022 ke salah satu yang terburuk dalam hampir 50 tahun terakhir.

Konsensus Trading Economics memperkirakan PDB Negeri Panda pada kuartal IV-2022 akan melandai menjadi 1,8% (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada kuartal III-2022 yang tumbuh 3,9% (yoy).

Secara kuartalan, PDB China diproyeksikan berkontraksi 0,8% pada kuartal IV-2022, dibandingkan dengan pertumbuhan 3,9% pada kuartal III-2022.

"Ekonomi China tampaknya mengakhiri tahun 2022 dengan nada yang lemah," kata ekonom di JPMorgan dalam sebuah risetnya, dikutip dari Reuters.

Beijing pada Desember 2022 telah mencabut langkah-langkah ketat anti-virus yang telah sangat menahan aktivitas ekonomi pada tahun 2022. Tetapi pelonggaran itu juga menyebabkan peningkatan tajam dalam kasus Covid-19 yang menurut para ekonom dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.

Selain data pertumbuhan ekonomi, beberapa data ekonomi lainnya juga akan dirilis di China pada hari ini, seperti data produksi industri atau output pabrik, penjualan ritel, dan tingkat pengangguran.

Sementara itu di Jepang, bank sentral (Bank of Japan/BoJ) akan memulai pertemuan kebijakan moneter terbarunya mulai hari ini hingga besok, di mana esoknya hasil dari pertemuan tersebut akan diumumkan dan menjadi perhatian pasar terkait kebijakan suku bunga BoJ.

Saat BoJ memulai pertemuan kebijakan moneter dua hari, pergerakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Jepang (Japan Government Bond/JGB) tenor 10 tahun akan menjadi fokus investor karena terus menguji batas atas kisaran toleransi bank sentral.

Sejumlah ekonom memperkirakan BoJ akan membatalkan kebijakan kontrol kurva imbal hasil (yield curve control/YCC), di tengah melonjaknya yield obligasi pemerintah Jepang dan penguatan yen.

Langkah tersebut akan dilakukan kurang dari sebulan setelah BoJ membuat pasar lengah dengan memperluas kisaran toleransinya untuk yield JGB tenor 10 tahun.

Sejak itu, yield JGB 10 tahun telah melampaui batas atas kisaran baru yakni 50 basis poin di kedua sisi target 0% dalam beberapa kali.

Ekonom Bank of America Global Research memperkirakan BoJ akan mempertahankan suku bunga acuannya tidak berubah pada ultra-dovish 0,1% besok, tetapi mengatakan hal itu dapat membatalkan kebijakan YCC sama sekali.

"Kami melihat risiko signifikan bahwa BoJ mengumumkan akhir Yield Curve Control (YCC) karena disfungsi di pasar obligasi yang mendorong modifikasi YCC bulan Desember menjadi jauh lebih buruk." Kata Kepala Ekonom Jepang Izumi Devalier dan timnya mengatakan dalam laporan baru-baru ini.

Di sisi lain, pelaku pasar tengah khawatir akan laporan terbaru yang dirilis Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang kembali memberi peringatan terkait risiko fragmentasi dalam ekonomi global.

Dalam catatan terbarunya yang dirilis Senin kemarin, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan disintegrasi perdagangan dan perubahan teknologi telah merugikan beberapa komunitas.

Dukungan publik terhadap keterbukaan ekonomi telah menurun di beberapa negara dan sejak krisis keuangan global, arus barang dan modal lintas batas telah mendatar.

Hal tersebut diperparah oleh ketegangan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia, China dan Amerika Serikat (AS) yang meningkatkan risiko pembatasan perdagangan baru.

"Sementara itu, perang Rusia ke Ukraina tidak hanya menyebabkan penderitaan manusia, tetapi juga gangguan besar aliran keuangan, makanan, dan energi di seluruh dunia," tulisnya.

Adapun perkiraan dampak fragmentasi tersebut sangat bervariasi. Namun, lanjut Georgieva, biaya jangka panjang dari fragmentasi perdagangan saja dapat berkisar dari 0,2% dari PDB global dalam skenario fragmentasi terbatas hingga hampir 7% dalam skenario yang parah atau kira-kira setara dengan gabungan PDB tahunan Jerman dan Jepang.

"Jika pemisahan teknologi ditambahkan dalam perhitungan, beberapa negara dapat mengalami kerugian hingga 12% dari PDB," katanya.

Namun, menurut analisis IMF yang baru, dampak penuh kemungkinan akan lebih besar lagi, tergantung pada berapa banyak saluran fragmentasi yang diperhitungkan.

Dia mengatakan selain pembatasan perdagangan dan hambatan penyebaran teknologi, fragmentasi dapat dirasakan melalui pembatasan lintas sektor yang memicu berkurangnya aliran modal dan penurunan tajam dalam kerja sama internasional.

Adapun, negara berkembang dikhawatirkan tidak akan lagi mendapat manfaat dari limpahan teknologi yang telah mendorong pertumbuhan produktivitas dan standar hidup. Alih-alih mengejar tingkat pendapatan ekonomi maju, negara berkembang akan makin tertinggal.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular