
CPO Kena Blacklist Eropa, Rp 44,5 Triliun Bisa Melayang!

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu deforestasi kian santer setelah Uni Eropa resmi melarang impor produksi terkait deforestasi. Namun, UE juga dinilai bersalah atas pembabatan hutan yang terjadi di beberapa importir tersebut.
Sebenarnya, isu deforestasi sudah lama menjadi perdebatan. Pasalnya, dampak dari deforestasi ini tentunya tidak kecil. Mulai dari berkurangnya hutan primer (hutan yang belum pernah disentuh oleh manusia), punahnya spesies yang dilindungi dan keanekaragaman hayati, serta pemanasan global. Hal ini jelas mengkhawatirkan mengingat hutan merupakan salah satu paru-paru dunia.
Hutan juga memiliki peranan penting dalam menyerap kelebihan gas rumah kaca, menyaring polusi dan mengendalikan banjir.
Seperti yang diwartakan Reuters, pada Selasa (6/12) waktu setempat, Uni Eropa (UE) telah menyetujui undang-undang untuk melarang perusahaan menjual kopi, daging sapi, kedelai, cokelat, karet, dan beberapa turunan minyak sawit yang terkait dengan deforestasi ke pasar Uni Eropa.
Undang-undang akan mewajibkan perusahaan untuk membuat pernyataan uji tuntas yang menunjukkan bahwa rantai pasokan mereka tidak berkontribusi pada perusakan hutan sebelum mereka menjual barang ke UE - atau mereka dapat menghadapi denda yang besar.
"Saya berharap peraturan inovatif ini akan memberikan dorongan bagi perlindungan hutan di seluruh dunia dan menginspirasi negara-negara lain di COP15," tutur Juru Runding Utama Parlemen Eropa, Christophe Hansen dikutip Reuters.
Setelah undang-undang tersebut resmi berlaku, maka produsen dan pedagang memiliki waktu 18 bulan untuk mematuhi peraturan tersebut. Di mana perusahaan yang lebih kecil akan memiliki waktu 24 bulan untuk beradaptasi. Namun, jika perusahaan tidak mematuhi aturan tersebut dapat dikenakan denda hingga 4% dari omset perusahaan di negara anggota Uni Eropa.
Perusahaan harus secara khusus membuktikan produk mereka tidak melakukan deforestasi setelah Desember 2020.
Menurut Komisi Eropa, undang-undang tersebut akan melindungi setidaknya sekitar 71.920 hektar (278 mil persegi) hutan setiap tahun atau setara dengan 100.000 lapangan sepak bola.
Bank Dunia juga memprediksikan bahwa undang-undang tersebut dapat mengurangi emisi karbon global secara tahunan sebesar 31,9 juta metrik ton per tahun atau setara dengan besaran emisi karbon Denmark pada 2021.
Dengan diberlakukannya undang-undang terkait pelarangan impor produk terkait deforestasi tentu akan berimbas terhadap negara yang memiliki angka pembabatan hutan tinggi. Pasalnya, Uni Eropa terdiri dari 27 negara, bahkan Jerman, Perancis, Italia dan Belanda termasuk di dalamnya. Beberapa negara tersebut juga memiliki perekonomian yang cukup besar di dunia.
Melansir World Resources Institute dan Global Forest Review, pada 2002 hingga 2020, Indonesia masuk ke dalam jajaran empat negara dengan angka pembabatan hutan tropis terbesar di dunia. Indonesia menduduki urutan kedua, setelah Brazil dengan angka pembabatan hutan tropis mencapai 9,7 juta hektar.
![]() |
Kendati begitu, Indonesia menunjukkan progress yang signifikan untuk mengurangi angka deforestasi. Berdasarkan data dari Forest Declaration Assessment, Indonesia sukses menurunkan angka deforestasi hingga 25% pada 2021 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
![]() |
Meski angka deforestasi menurun secara signifikan, tapi dengan diberlakukannya undang-undang yang melarang impor produk terkait deforestasi masih akan memberatkan Indonesia.
Sebab, Indonesia belum dikatakan bebas akan deforestasi. Apalagi, komoditas primadona seperti minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) berkaitan erat dengan isu deforestasi.
Dengan begitu, RI berpotensi merugi sebab permintaan akan CPO di 27 negara tersebut berpeluang menurun, bahkan diberhentikan ekspornya jika para pelaku industri tidak memiliki sertifikat bebas deforestasi.
Pada 2021, Indonesia mengimpor CPO sebesar 44,6% dari total impor Uni Eropa senilai US$ 6,4 miliar, yang berarti senilai US$ 2,85 miliar atau setara dengan Rp 44,5 triliun (asumsi kurs Rp 15.620/US$). Dengan begitu, Indonesia berpotensi kehilangan pemasukan sekitar Rp 44,5 triliun.
Namun, organisasi dunia menilai bahwa Uni Eropa juga bersalah dan memiliki peran dalam isu deforestasi, simak penjelasannya di halaman selanjutnya>>>>
Melansir laman WWF, yang merupakan organisasi yang bergerak di bidang lingkungan, bahwa Uni Eropa juga bersalah atas penggundulan hutan tropis yang terjadi di negara-negara berkembang.
Menurut laporan WWF bahwa UE adalah salah satu importir produk terkait deforestasi tropis dan emisi terbesar di dunia setelah China. Pada 2017, UE berkontribusi 16% atas perdagangan internasional terkait deforestasi dengan total 203.000 hektar dan 116 juta ton emisi CO2.
Sementara, China memiliki porsi 24% dan mengantarkannya sebagai jajaran nomer satu sebagai importir terbesar deforestasi. Posisi ketiga terdapat India dengan porsi 9%, disusul oleh Amerik Serikat (AS) dengan bobot 7% dan Jepang 5%.
Di dalam area Uni Eropa sendiri, WWF juga menemukan bahwa rata-rata 43.700 hektar hutan dibabat setiap tahunnya untuk menghasilkan barang impor ke Jerman pada 2005 hingga 2017. Secara total, 80% kerusakan hutan akibat impor di seluruh UE dilakukan oleh 8 negara ekonomi terbesar.
Maka dari itu, demi menurunkan angka pembabatan hutan atau deforestasi, bukan hanya menjadi tanggungjawab negara-negara penghasil komoditas saja, tetapi juga merupakan tanggungjawab negara-negara importir.
Dengan permintaan minyak kelapa sawit yang diprediksikan akan terus tumbuh, maka ada kekhawatiran bahwa angka deforestasi akan meningkat.
Lantas, bagaimana RI Bisa Terus Produksi CPO Tanpa Deforestasi?
Sejatinya, para pelaku usaha dan pemerintah telah berusaha meyakinkan global dengan mengampanyekan sustainable development. Salah satunya dengan menerapkan sertifikasi keberlanjutan melalui Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai tandingan dari sertifikasi Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang dibidani oleh UE.
Secara umum, tujuan kedua sertifikasi sama yakni mendukung industri kelapa sawit yang berkelanjutan dengan tanggungjawab terhadap lingkungan.
Dengan sertifikasi RSPO dan ISPO, konsumen akan mengetahui bahwa produk kelapa sawit tersebut berasal dari produsen yang peduli terhadap pelestarian lingkungan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/aaf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Indonesia Raja Minyak Sawit yang 'Diatur' Malaysia! Kok Bisa?
