Rupiah Loyo Lagi, Jadi Paling Bontot di Asia!
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah stagnan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) sebelum akhirnya terkoreksi pada pertengahan perdagangan Senin (26/12/2022). Namun, mayoritas mata uang di Asia sukses menguat. Apa penyebabnya?
Mengacu pada data Refinitiv, pada pembukaan perdagangan rupiah stagnan di Rp 15.590/US$. Sayangnya, rupiah kembali terkoreksi 0,26% ke Rp 15.630/US$ pada pukul 11:00 WIB.
Pada Jumat 23 Desember 2022, telah dirilis inflasi inti PCE atau Personal Consumption Expenditure yang biasanya dijadikan acuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menentukan kebijakan moneternya.
Ukuran inflasi pilihan Fed meningkat 0,1 % bulan lalu pada basis bulan ke bulan, turun dari kenaikan bulanan 0,4% di bulan Oktober. Ini meningkat 5,5 % pada basis year-to-year di bulan November, turun dari 6,1% di bulan Oktober.
Tidak termasuk komponen makanan dan energi yang mudah menguap, indeks harga PCE naik 0,2 % di bulan November, turun dari 0,3% di bulan sebelumnya. Ini meningkat 4,7 % dalam 12 bulan hingga November, dibandingkan dengan kenaikan 5,0 % year-on-year di bulan Oktober. Tapi itu masih jauh lebih tinggi dari target 2% The Fed.
Hal tersebut meningkatkan potensi The Fed untuk kembali menaikkan suku bunga acuannya pada 2023.
"Pasar ekuitas salah karena mereka mengira The Fed akan berhenti dan akhirnya menurunkan suku bunga pada 2023 nanti. Dan, saat ini, saya tidak melihat itu terjadi dalam waktu dekat," kata Paul Nolte, manajer portofolio di Manajemen Aset Kingsview dikutip Reuters.
Serupa, Kepala Ekonom LPL Financial Jeffrey Roach juga menilai angka inflasi AS dari Indeks Harga Konsumen (IHK) yang sudah melandai pada November 2022, masih di nilai tinggi.
"Inflasi jasa mulai mereda tetapi masih terlalu panas bagi pembuat kebijakan," kata Jeffrey Roach, kepala ekonom LPL Financial.
Selain itu, Pasar tenaga kerja yang masih terlalu ketat membantu menopang ekonomi dengan menghasilkan kenaikan upah yang solid, yang berkontribusi pada belanja konsumen yang lebih tinggi. Tingkat pengangguran, pada 3,7%, baru saja meningkat dari level terendah 50 tahun sebesar 3,5% karena perusahaan terus bersaing untuk mendapatkan pasokan pekerja yang terbatas.
"The Fed sangat yakin perlu melonggarkan pasar tenaga kerja untuk mencegah satu tahun lagi pertumbuhan upah yang cepat," kata Tim Duy, ekonom di SGH Macro Advisors.
"Jika pengangguran tidak segera mulai naik, Fed akan mengambil proyeksi tingkat kebijakan naik satu kaki lebih tinggi atau mendorong kembali garis waktu untuk mendinginkan pasar tenaga kerja," tambahnya.
Sejatinya, Ketua Fed Jerome Powell telah mengindikasikan bahwa mereka masih akan menaikkan suku bunga acuannya hingga 2023. Fed dot plot menunjukkan para pejabat elit The Fed memperkirakan suku bunga akan berada di kisaran 5% - 5,25%, artinya masih ada kenaikan 75 basis poin lagi, dengan kemungkinan kenaikan 50 basis poin pada Februari 2023 dan 25 bps sebelum berselang.
Sentimen tersebut kian menekan pergerakan mata uang di Asia, di mana Mata Uang Garuda terkoreksi paling tajam sebesar 0,26% di hadapan dolar AS.
Disusul oleh rupee India dan dolar Hong Kong yang melemah masing-masing sebesar 0,05% dan 0,01%.
Namun, mayoritas mata uang di Asia berhasil menguat, yen Jepang menjadi pemimpin kenaikan, sukses menguat sebesar 0,26% di hadapan dolar AS. Di susul olej dolar Taiwan yang terapresiasi 0,18%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/aaf)