
Natal Pas Pandemi Vs Natal Sebelum Resesi, Serem Mana?

Dunia kini berada di masa peralihan menuju era new normal. Sayangnya, masyarakat harus menghadapi permasalahan baru. Perang antara Rusia dan Ukraina telah menyebabkan hambatan pada pasokan energi. Akibatnya, harga energi dan komoditas lainnya pun meroket. Angka inflasi pun meninggi hampir di seluruh dunia.
Bahkan, Amerika Serikat (AS) yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia juga tidak lepas dari badai inflasi dan potensi resesi di tahun depan.
Perayaan Natal dan Tahun Baru 2023 pun menjadi berbeda.
Angka inflasi di AS sempat menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa atau 41 tahun pada Juni 2022 berada di 9,1% secara tahunan. Namun, angka inflasi kini sudah mulai melandai meski belum signifikan.
Namun, angka inflasi mulai melandai seiring agresifnya bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menaikkan suku bunga acuannya untuk menurunkan angka inflasi.
Terbukti, inflasi AS per November 2022 berada di 7,1% secara tahunan. Angka inflasi tersebut kian melandai jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya di 7,7% yoy.
Hasil itu sekaligus menandai penurunan inflasi selama 5 bulan berturut-turut. Tak hanya itu, inflasi tersebut lebih rendah dari proyeksi pasar dalam polling Reuters yang memperkirakan IHK turun menjadi 7,3% (yoy).
Di sepanjang tahun ini, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 425 bps sejak Maret 2022. Bahkan, Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 bps sebanyak empat kali berturut-turut tahun ini, mendorong biaya pinjaman ke level tertinggi baru sejak 2008.
Meski angka inflasi telah melandai, tapi masih jauh dari target Fed di 2%.
Namun, pada pekan ini, masyarakat di AS juga akan merayakan Hari Natal. Sudah bukan rahasia bahwa konsumsi masyarakat kerap mengalami peningkatan.
National Retail Federation (NRF) memprediksikan bahwa penjualan sepanjang libur Natal tahun ini akan meningkat di kisaran 6%-8% menjadi US$ 942,6 miliar hingga US$ 960,4 miliar. Lebih tinggi jika dibandingkan dengan 2021, hanya mencapai US$ 889,3 miliar.
Sebaliknya, para analis memprediksikan bahwa masyarakat AS akan berfikir ulang saat berbelanja saat musim liburan dimulai karena inflasi dan suku bunga tinggi.
Perubahan pada pola belanja masyarakat tercermin pada penjualan ritel per November 2022 yang turun 0,6%. Penurunan tersebut menjadi yang terbesar dalam hampir setahun, setelah sempat melesat 1,3% pada Oktober 2022.
Penurunan tersebut membalikkan pola tradisi tahunan di mana masyarakat lebih konsumtif ketika akan menghadapi hari libur Natal dan banyak penawaran diskon khususnya saat "Black Friday" dan "Cyber Monday" yang berlangsung pada akhir November 2022.
![]() |
"Sejauh ini, inflasi adalah masalah terbesar bagi rumah tangga tahun ini," tutur Ekonom Senior Wells Fargo Tim Quinlan dikutip CNBC International.
"Keuangan rumah tangga terpukul dengan tingkat tabungan yang lebih rendah dan upah riil yang menurun sehingga menghambat penjualan saat liburan," tambahnya.
Penurunan angka penjualan ritel di AS telah menimbulkan kekhawatiran. Costco Wholesale Corp mengatakan pekan lalu bahwa pembeli mengurangi pembelian barang-barang dikresi besar. Sementara Walmart dan Target menilai bahwa konsumen menjadi lebih selektif dan memprioritaskan pengeluaran untuk makanan dan kebutuhan lainnya.
Tentu, jika masyarakat menjadi tidak konsumtif maka akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi AS. Sebanyak 80% dari PDB AS merupakan konsumsi masyarakat, sehingga ketika masyarakat tidak konsumtif maka ada potensi bahwa PDB AS melambat.
Hal tersebut juga meningkatkan potensi bahwa resesi akan terjadi di AS. Ditambah lagi, analis memprediksikan bahwa Fed masih akan terus menaikkan suku bunga acunnya hingga kuartal pertama tahun depan.
The Fed mengindikasikan suku bunga masih akan naik hingga awal tahun depan. Fed dot plot menunjukkan para pejabat elit The Fed memperkirakan suku bunga akan berada di kisaran 5% - 5,25%, artinya masih ada kenaikan 75 basis poin lagi, dengan kemungkinan kenaikan 50 basis poin pada Februari 2023 dan 25 basispoin sebelum berselang.
Selain itu, bank sentral acuan dunia tersebut juga mengindikasikan suku bunga tidak akan diturunkan setidaknya sampai 2024. Sehingga meningkatkan potensi bahwa Negeri Paman Sam akan kembali ke jurang resesi.
Lantas, bagaimana dengan Tanah Air?
Beruntung, angka inflasi Indonesia tidak setinggi negara-negara lain. Indeks Harga Konsumen (IHK) pada November 2022 tercatat lebih rendah dari perkiraan dan inflasi bulan sebelumnya, yakni pada kisaran 5,42% (yoy), lebih rendah proyeksi yang diperkirakan mencapai 6% (yoy). Inflasi kelompok volatile food juga turun menjadi 5,7% (yoy).
Sehingga, BI memperkirakan inflasi di tanah air masih akan terjaga, meskipun menjelang libur natal dan tahun baru 2023.
"Akhir bulan ini, Desember pun kami yakini tidak akan melebihi 5,4% meskipun memang ada kenaikan inflasi dari sisi makanan, karena adanya libur natal dan tahun baru," jelas Perry dalam konferensi pers, Kamis (22/12/2022).
Hal lain yang juga membuat BI optimistis, bahwa inflasi di Indonesia masih akan terjaga hingga akhir tahun, tercermin dari inflasi administered price dan inflasi inti yang mengalami tren penurunan.
Inflasi administered price pada November 2022, tercatat turun menjadi sebesar 13,01% (yoy) sejalan dengan menurunnya tarif angkutan udara dan harga BBM non subsidi.
Sementara itu, inflasi inti juga menurun menjadi 3,30% (yoy), dipengaruhi oleh dampak lanjutan penyesuaian harga BBM terhadap inflasi inti yang terbatas dan tekanan inflasi dari sisi permintaan yang belum kuat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf)[Gambas:Video CNBC]