Jakarta, CNBC Indonesia - Perayaan Natal dan Tahun Baru di era pandemi Covid-19 dan tahun ini menjadi sangat berbeda dari biasanya.
Pasalnya, tahun ini merupakan tahun pertama untuk merayakan Natal, setelah masyarakat dunia berkutat dengan virus Covid-19 yang mengharuskan masyarakat untuk membatasi kegiatan sosial selama lebih dari dua tahun.
Pada 2020 silam, pandemi penyakit virus corona (Covid-19) telah membuat aktivitas masyarakat di semua penjuru dunia dibatasi. Kerumunan dilarang keras guna meredam penyebaran virus corona, alhasil Natal dan Tahun Baru 2020 akan jauh dari kata meriah, keindahan kembang api tidak akan bisa disaksikan.
Di Indonesia, menjelang akhir tahun, kasus Covid-19 justru terus menanjak. Guna meredam peningkatan kasus tersebut pemerintah memutuskan untuk melarang kerumunan dan perayaan tahun baru di tempat umum.
Keputusan ini diambil dalam Rapat Koordinasi Penanganan Covid-19 di DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim dan Bali secara virtual di Kantor Maritim pada Hari Senin (14-12-2020) yang dipimpin oleh Menko Maritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan. Dia meminta agar implementasi pengetatan ini dapat dimulai pada tanggal 18 Desember 2020 hingga 8 Januari 2021.
Pemerintah juga menerapkan kebijakan untuk memiliki surat hasil negatif tes usap (swab) polymerase chain reaction (PCR) bagi wisatawan yang akan berkunjung ke Bali menggunakan pesawat mulai hari ini Sabtu (19/12/2020). Sedangkan untuk wisatawan yang menggunakan kendaraan pribadi wajib melakukan tes rapid antigen.
Kebijakan tersebut langsung berefek pada kalangan pengusaha hotel dan restoran mengaku telah menerima ratusan ribu total pembatalan reservasi mencapai Rp 317 miliar dari perjalanan sampai akomodasi.
Rupanya, tidak hanya di Indonesia, belahan dunia lainnya pun mengalami hal serupa.
Beberapa negara di Asia juga melakukan pengetatan jelang Natal dan Tahun Baru. Korea Selatan, negara yang sebelumnya sudah sukses meredam virus corona kini kembali mengalami serangan bahkan dikatakan sebagai gelombang ketiga.
Pada Rabu (16/12/2020), Korsel mencatat penambahan kasus baru sebanyak 1.075 orang, terbanyak sepanjang sejarah. Setelahnya, Negeri Ginseng konsisten mencatat jumlah kasus lebih dari 1.000 orang per hari.
Kementerian Kesehatan Korsel pada hari Rabu lalu menyerukan seluruh warganya untuk berpartisipasi secara penuh dalam kebijakan pembatasan sosial khususnya di kota Seoul.
Menurut kementerian tersebut, pembatasan yang berlaku di Korsel berada di level 2,5, dan jika dinaikkan menjadi level 3 artinya akan diberlakukan lockdown. Jika itu terjadi, sekolah hingga Ibadah harus dilakukan secara daring.
Eropa juga mengalami lonjakan kasus yang Covid-19. Jerman, negara dengan nilai ekonomi terbesar di Eropa sudah mulai melakukan pengetatan pembatasan sosial.
Kanselir Angela Merkel mengatakan Jerman bakal menutup sebagian besar toko dan mempersingkat musim belanja Natal.
Toko-toko penting seperti supermarket, apotek, dan bank masih tetap buka. Sementara salon rambut, salon kecantikan, dan salon tato harus ditutup.
Sekolah juga ditutup, dan pemberi kerja diminta untuk menutup operasi atau menyuruh karyawan bekerja dari rumah. Penjualan kembang api juga akan dilarang menjelang Malam Tahun Baru.
Inggris juga kembali memperketat pembatasan sosial. Ibu kota Inggris dan sejumlah kota kini dalam status 'high alert' dan akan dikenakan status level tiga yang lebih ketat.
Dari Amerika Serikat, kota New York melakukan penutupan bisnis non esensial setidaknya selama 2 pekan. Gubernur New York, Andrew Cuomo, bahkan mengatakan penutupan tersebut berlangsung hingga bulan Januari 2021 akibat lonjakan kasus Covid-19.
Lantas, apa perbedaannya dengan natal tahun ini? Simak di halaman berikutnya>>>>
Dunia kini berada di masa peralihan menuju era new normal. Sayangnya, masyarakat harus menghadapi permasalahan baru. Perang antara Rusia dan Ukraina telah menyebabkan hambatan pada pasokan energi. Akibatnya, harga energi dan komoditas lainnya pun meroket. Angka inflasi pun meninggi hampir di seluruh dunia.
Bahkan, Amerika Serikat (AS) yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia juga tidak lepas dari badai inflasi dan potensi resesi di tahun depan.
Perayaan Natal dan Tahun Baru 2023 pun menjadi berbeda.
Angka inflasi di AS sempat menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa atau 41 tahun pada Juni 2022 berada di 9,1% secara tahunan. Namun, angka inflasi kini sudah mulai melandai meski belum signifikan.
Namun, angka inflasi mulai melandai seiring agresifnya bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menaikkan suku bunga acuannya untuk menurunkan angka inflasi.
Terbukti, inflasi AS per November 2022 berada di 7,1% secara tahunan. Angka inflasi tersebut kian melandai jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya di 7,7% yoy.
Hasil itu sekaligus menandai penurunan inflasi selama 5 bulan berturut-turut. Tak hanya itu, inflasi tersebut lebih rendah dari proyeksi pasar dalam polling Reuters yang memperkirakan IHK turun menjadi 7,3% (yoy).
Di sepanjang tahun ini, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 425 bps sejak Maret 2022. Bahkan, Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 bps sebanyak empat kali berturut-turut tahun ini, mendorong biaya pinjaman ke level tertinggi baru sejak 2008.
Meski angka inflasi telah melandai, tapi masih jauh dari target Fed di 2%.
Namun, pada pekan ini, masyarakat di AS juga akan merayakan Hari Natal. Sudah bukan rahasia bahwa konsumsi masyarakat kerap mengalami peningkatan.
National Retail Federation (NRF) memprediksikan bahwa penjualan sepanjang libur Natal tahun ini akan meningkat di kisaran 6%-8% menjadi US$ 942,6 miliar hingga US$ 960,4 miliar. Lebih tinggi jika dibandingkan dengan 2021, hanya mencapai US$ 889,3 miliar.
Sebaliknya, para analis memprediksikan bahwa masyarakat AS akan berfikir ulang saat berbelanja saat musim liburan dimulai karena inflasi dan suku bunga tinggi.
Perubahan pada pola belanja masyarakat tercermin pada penjualan ritel per November 2022 yang turun 0,6%. Penurunan tersebut menjadi yang terbesar dalam hampir setahun, setelah sempat melesat 1,3% pada Oktober 2022.
Penurunan tersebut membalikkan pola tradisi tahunan di mana masyarakat lebih konsumtif ketika akan menghadapi hari libur Natal dan banyak penawaran diskon khususnya saat "Black Friday" dan "Cyber Monday" yang berlangsung pada akhir November 2022.
"Sejauh ini, inflasi adalah masalah terbesar bagi rumah tangga tahun ini," tutur Ekonom Senior Wells Fargo Tim Quinlan dikutip CNBC International.
"Keuangan rumah tangga terpukul dengan tingkat tabungan yang lebih rendah dan upah riil yang menurun sehingga menghambat penjualan saat liburan," tambahnya.
Penurunan angka penjualan ritel di AS telah menimbulkan kekhawatiran. Costco Wholesale Corp mengatakan pekan lalu bahwa pembeli mengurangi pembelian barang-barang dikresi besar. Sementara Walmart dan Target menilai bahwa konsumen menjadi lebih selektif dan memprioritaskan pengeluaran untuk makanan dan kebutuhan lainnya.
Tentu, jika masyarakat menjadi tidak konsumtif maka akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi AS. Sebanyak 80% dari PDB AS merupakan konsumsi masyarakat, sehingga ketika masyarakat tidak konsumtif maka ada potensi bahwa PDB AS melambat.
Hal tersebut juga meningkatkan potensi bahwa resesi akan terjadi di AS. Ditambah lagi, analis memprediksikan bahwa Fed masih akan terus menaikkan suku bunga acunnya hingga kuartal pertama tahun depan.
The Fed mengindikasikan suku bunga masih akan naik hingga awal tahun depan. Fed dot plot menunjukkan para pejabat elit The Fed memperkirakan suku bunga akan berada di kisaran 5% - 5,25%, artinya masih ada kenaikan 75 basis poin lagi, dengan kemungkinan kenaikan 50 basis poin pada Februari 2023 dan 25 basispoin sebelum berselang.
Selain itu, bank sentral acuan dunia tersebut juga mengindikasikan suku bunga tidak akan diturunkan setidaknya sampai 2024. Sehingga meningkatkan potensi bahwa Negeri Paman Sam akan kembali ke jurang resesi.
Lantas, bagaimana dengan Tanah Air?
Beruntung, angka inflasi Indonesia tidak setinggi negara-negara lain. Indeks Harga Konsumen (IHK) pada November 2022 tercatat lebih rendah dari perkiraan dan inflasi bulan sebelumnya, yakni pada kisaran 5,42% (yoy), lebih rendah proyeksi yang diperkirakan mencapai 6% (yoy). Inflasi kelompok volatile food juga turun menjadi 5,7% (yoy).
Sehingga, BI memperkirakan inflasi di tanah air masih akan terjaga, meskipun menjelang libur natal dan tahun baru 2023.
"Akhir bulan ini, Desember pun kami yakini tidak akan melebihi 5,4% meskipun memang ada kenaikan inflasi dari sisi makanan, karena adanya libur natal dan tahun baru," jelas Perry dalam konferensi pers, Kamis (22/12/2022).
Hal lain yang juga membuat BI optimistis, bahwa inflasi di Indonesia masih akan terjaga hingga akhir tahun, tercermin dari inflasi administered price dan inflasi inti yang mengalami tren penurunan.
Inflasi administered price pada November 2022, tercatat turun menjadi sebesar 13,01% (yoy) sejalan dengan menurunnya tarif angkutan udara dan harga BBM non subsidi.
Sementara itu, inflasi inti juga menurun menjadi 3,30% (yoy), dipengaruhi oleh dampak lanjutan penyesuaian harga BBM terhadap inflasi inti yang terbatas dan tekanan inflasi dari sisi permintaan yang belum kuat.
TIM RISET CNBC INDONESIA