Bursa Asia Ditutup Bervariasi, Nikkei Masih Loyo

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Rabu, 21/12/2022 16:47 WIB
Foto: ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup beragam pada perdagangan Rabu (21/12/2022), setelah bursa saham AS, Wall Street mengakhiri koreksi empat harinya dan pasar masih mencerna perubahan kebijakan moneter bank sentral Jepang.

Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup melemah 0,68% ke posisi 26.387,72, Shanghai Composite China turun 0,17% ke 3.068,41, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 0,19% menjadi 2.328,95.

Sedangkan untuk indeks Hang Seng Hong Kong ditutup menguat 0,34% ke posisi 19.160,49, Straits Times Singapura naik tipis 0,07% ke 3.256,19, ASX 200 Australia melesat 1,29% ke 7.115,1, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir terapresiasi 0,77% menjadi 6.820,66.


Dari Jepang, indeks Nikkei kembali terkoreksi karena pasar masih mencerna sikap bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) yang merubah sedikit kebijakan moneternya.

Selain itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Jepang untuk tenor 2 tahun menyentuh di atas 0% untuk pertama kalinya sejak 2015, di mana yield obligasi Jepang tenor 2 tahun naik 2,7 basis poin (bp).

Kemarin, BoJ memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level -0,1% pada hari ini. Tetapi, kebijakan yield curve control (YCC) diperlebar menjadi 50 basis poin (bp) dari sebelumnya 25 bp.

YCC merupakan kebijakan BoJ yang menahan yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun dekat dengan 0%. Ketika yield mulai menjauhi 0%, maka BoJ akan melakukan pembelian obligasi.

Pembelian tersebut artinya BoJ menyuntikkan likuiditas ke perekonomian.

Kini dengan YCC diperlebar menjadi 50 bp, kebijakan BoJ menjadi lebih fleksibel, likuiditas yang disuntikkan ke perekonomian menjadi lebih kecil.

Pasar sebenarnya melihat BoJ belum akan merubah kebijakannya hingga Maret 2023.

Jika benar BoJ akan bertindak agresif ke depannya, maka era suku bunga rendah resmi berakhir di Jepang.

Sekali lagi semakin tinggi suku bunga, maka risiko resesi semakin besar. BoJ pun bakal menambah derita dunia yang diramal mengalami resesi tahun depan. Semua demi meredam inflasi.

Namun pada hari ini, investor cenderung optimis, setelah pasar saham AS, Wall Street berhasil bangkit dari koreksinya selama empat hari beruntun.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 0,28%, S&P 500 terapresiasi 0,11%, dan Nasdaq Composite naik tipis 0,01%.

Kenaikan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang masih akan berlanjut di awal tahun depan memberikan sentimen negatif ke pasar saham.

Tidak hanya The Fed, bank sentral lainnya juga melakukan hal yang sama.

"Lebih dari 90% bank sentral sudah menaikkan suku bunga di tahun ini, upaya (untuk menurunkan inflasi) ini belum pernah terjadi sebelumnya," kata Lawrence Gillum, fixed income strategist di LPL Financial.

Tetapi menurut Gillum, kabar baiknya periode kenaikan suku bunga tersebut sebentar lagi akan berakhir. Artinya, suku bunga tinggi akan segera mencapai puncaknya.

Semakin tinggi suku bunga, maka inflasi bisa diturunkan. Tetapi pertumbuhan ekonomi yang dikorbankan.

Dengan banyaknya bank sentral mengerek suku bunga, maka dunia terancam mengalami resesi di tahun depan.

Resesi sepertinya hampir pasti terjadi, tetapi seberapa parah itu yang belum diketahui.

Inggris menjadi salah satu yang diprediksi mengalami resesi yang panjang. Tidak hanya itu, Confederation of British Industri (CBI) Inggris memperkirakan Inggris akan mengalami "dasawarsa yang hilang" atau "lost decade".

Jepang pernah mengalaminya, di mana pertumbuhan ekonominya sangat rendah hingga negatif pada periode 1991 - 2000.

"Kita akan melihat dasawarsa yang hilang jika tidak ada langkah yang diambil,"kata Tony Danker, Direktur Jenderal CBI sebagaimana dilansir CNN Business, Rabu (5/12/2022).

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: IHSG Menguat, Pasar Modal RI Masih Jadi Pilihan Investor