
Terlalu Prematur Jika Batu Bara Ditinggalkan Penuh?

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri batu bara sampai saat ini masih terus menjadi sorotan di berbagai negara. Di satu sisi, batu bara masih sangat dibutuhkan sebagai sumber energi yang murah dan potensial, di sisi lain batu bara juga mulai disingkirkan secara perlahan diganti dengan energi baru terbarukan (EBT), demi terciptanya dunia yang bersih.
Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang komit untuk melakukan transisi energi dari energi fosil menjadi EBT. Namun sayangnya, usaha tersebut memang tidak mudah, terlebih batu bara menjadi sumber energi yang dibutuhkan seluruh dunia di tengah gejolak perang Rusia-Ukraina.
Hal itupun banyak menuai kritikan. Belum lama ini, pemerintah barat telah mendapat kritikan keras terkait krisis energi di dunia saat ini. CEO perusahaan energi Chevron Mike Wirth mengungkapkan kondisi telah diperburuk dengan adanya transisi energi hijau. Menurut dia, hal ini akan menyebabkan lebih banyak volatilitas, lebih banyak ketidakpastian, dan lebih banyak kekacauan.
Dia menegaskan bahwa transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi hijau sangat prematur, sehingga memicu konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti masalah pasokan energi yang sudah tersebar luas di Eropa dan muncul di California.
Wirth melanjutkan bahwa meskipun energi terbarukan banyak diinvestasikan oleh pemerintah Barat selama dua dekade terakhir untuk mendekarbonisasi jaringan, pada kenyataannya persentase bahan bakar fosil masih yang besar untuk pembangkit listrik.
"Percakapan (tentang energi) di negara maju pasti telah condong ke iklim, mengambil keterjangkauan dan keamanan begitu saja. Kenyataannya, (bahan bakar fosil) adalah apa yang menjalankan dunia saat ini. Ini akan menjalankan dunia besok dan lima tahun dari sekarang, 10 tahun dari sekarang, 20 tahun dari sekarang," ungkapnya diadilansir dari Oilprice.com, belum lama ini.
Dilain pihak, Asosiasi Pertambangan Indonesia atau Indonesian Mining Association (IMA) menilai saat ini Indonesia dianugerahi sumber daya berupa batu bara yang cukup melimpah. Oleh sebab itu, pemanfaatannya harus benar-benar dioptimalkan secara penuh.
Plt Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Djoko Widajatno mengatakan, meskipun Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meminta tidak ada lagi pembangunan PLTU baru, namun demikian batu bara masih menjadi primadona energi yang murah dan menjanjikan untuk saat ini.
"Minyak sudah lewat karena kesalahan kebijakan. Kita pernah menikmati kehidupan dari minyak mewah tahun '75, karena semuanya digadaikan kita tidak menikmati apa-apa, dan harapan saya bawa sesuai dengan kebijakan nasional mineral dan batu bara bahwa batu bara itu menjadi energi primer di Republik ini itu, jangan diubah," ungkap Djoko dalam acara Webinar Bedah Buku Tambang Transformatif, beberapa waktu lalu.
Oleh sebab itu, ia mendorong agar Indonesia jangan mau didikte dengan aturan-aturan dari luar negeri yang bisa merugikan negara ini.
Menurut Djoko, industri pertambangan sendiri masih mempunyai prospek yang cukup cerah bagi bangsa Indonesia. Apalagi, menurutnya sektor tambang telah berkontribusi pada pendapatan negara di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, setidaknya 37% penghasilan perusahaan pertambangan, baik dari royalti maupun pajak, disetorkan kepada negara.
Seperti diketahui, batu bara dan komoditas lainnya, ikut mendorong neraca perdagangan Indonesia kembali membukukan surplus. Ini adalah rekor surplus terpanjang dalam sejarah, yakni ke-29 bulan secara beruntun, sejak Mei 2020.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan pada September 2022, mengalami surplus US$ 4,99 miliar. BPS melihat beberapa ekspor komoditas unggulan yang masih tetap tinggi a.l. batu bara dan gas alam.
Pecapaian tersebut menegaskan bahwa batu bara merupakan salah satu sumber daya terpenting bagi Indonesia mengingat kontribusinya yang sangat besar bagi pendapatan negara setiap tahunnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan pernah menyebutkan penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara (Minerba) membukukan angka Rp 124,4 triliun di 2021. Nilai tersebut mencakup pajak, bea keluar, hingga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Tidak hanya itu, banyak pula perusahaan tambang batu bara yang aktif membantu menguatkan ekonomi warga sekitar tambang. Hal ini bahkan diakui oleh Peneliti INDEF,
Nailul Huda. Dia tidak bisa menampik bahwa komoditas batubara saat ini sudah berdampak banyak membantu perekonomian daerah warga sekitar tambang.
"Batubara dan komoditas energi fosil lainnya memang harus kita akui banyak membantu perekonomian nasional, terutama daerah," ujarnya kepada CNBC Indonesia.
(dpu/dpu)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Harga Batu Bara Terbang 17%, Sampai Kapan?