
Rupiah Agak 'Malas' Pekan Ini, tapi Cuma Tipis-Tipis Aja
Pada Kamis lalu, data neraca perdagangan periode November 2022 resmi dirilis. Hasilnya kembali surplus.
Biro Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan kembali mencatat surplus sebesar US$ 5,16 miliar pada bulan lalu. Neraca perdagangan Indonesia kini sudah surplus dalam 31 bulan beruntun.
Ekspor Indonesia alami kenaikan 5,58% (yoy) menjadi US$ 24,12 miliar. Sementara secara bulanan ada penurunan 2,46%.
"Nilai ekspor November mencapai US$ 24,12 miliar," ungkap Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah dalam konferensi pers, Kamis (15/12/2022).
Sementara impor Indonesia mencapai US$ 18,96 miliar, atau turun 1,89% dibandingkan tahun lalu (yoy) dan turun 0,91% dibandingkan bulan sebelumnya.
"Impor Indonesia mencapai US$ 18,96 miliar," jelasnya.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 11 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada bulan lalu sebesar US$ 4,4 miliar.
Secara keseluruhan, surplus neraca perdagangan pada Januari-November 2022 tercatat US$ 50,59 miliar.
Meski demikian, data tersebut masih belum mampu mendongkrak kinerja rupiah. Fakta tersebut memperpanjang tren historisnya selama ini jika surplus neraca perdagangan tidak cukup kuat menopang nilai tukar rupiah. Begitu juga sebaliknya, defisit surplus neraca perdagangan tidak serta membuat nilai tukar rupiah terpuruk.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), maupun Refinitiv, pergerakan nilai tukar kerap tak sejalan dengan surplus neraca perdagangan.
Pada periode defisit panjang Oktober 2012-Juli 2013, rupiah sempat menguat pada November 2012 dan Februari 2013 atau kalaupun melemah terbilang tipis sebelum Mei 2013.
Rupiah baru mengalami guncangan hebat sejak Mei 2013 setelah The Fed mengumumkan akan mengakhiri kebijakan quantitative easing-nya.
Pada saat Indonesia mencatatkan rekor defisit pada April 2019 yakni US$ 2,3 miliar, rupiah juga hanya melandai tipis sekitar Rp 10/US$.
Indonesia juga pernah berada dalam periode defisit besar pada Oktober 2018-Januari 2019. Defisit tercatat US$ 1,76 miliar pada Oktober, sebesar US$ 2,05 miliar pada November, US$ 1,07 miliar pada Desember, serta US$ 0,98 miliar pada Januari 2019.
Namun, rupiah justru menguat tajam dari sekitar US$ 15.200/US$1 pada Oktober menjadi US$ 13.970/US$ pada akhir Januari 2019.
Ekonom BCA, Suryaputra Wijaksana mengatakan nilai tukar rupiah Indonesia lebih dipengaruhi oleh arus keluar masuk dana investor asing di pasar saham dan obligasi.
Banyaknya pendapatan ekspor yang tidak dibawa ke bank dalam negeri atau dikonversi ke dolar AS juga membuat nilai tukar kerap melemah di tengah impresifnya kinerja ekspor.
"Tidak semua hasil ekspor direpatriasi ke sistem perbankan dalam negeri.. Aliran dana asing masuk dan keluar di pasar obligasi dan saham juga lebih dominan dalam menentukan nilai tukar rupiah di jangka pendek," tutur Suryaputra kepada CNBC Indonesia, Jumat (16/12/2022).
Senada, ekonom Bank Maybank Indonesia, Juniman menjelaskan bahwa pelemahan rupiah saaat ini dipicu oleh derasnya capital outflow. Investor asing meninggalkan pasar keuangan Indonesua untuk memburu aset aman seperti dolar AS setelah The Fed memberlakukan kebijakan moneter yang agresif.
"Suku bunga Fed Fund Rate sangat cepat memicu capital outflow dari emerging markets ke AS," ujar Juniman, kepada CNBC Indonesia.
Berdasarkan data BI pada awal tahun hingga 8 Desember 2022, investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 140, 62 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sementara di pasar saham masih tercatat net buy sebesar Rp 73,27 triliun
Juniman juga menambahkan banyaknya Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang diparkir di luar negeri membuat rupiah tetap melemah meskipun ekspor moncer.
"Seyogyanya BI dan Pemerintah serta semua stakeholder duduk bareng untuk memformulasikan kembali regulasi DHE ini agar dana DHE ini diparkir di dalam negeri untuk periode tertentu.," imbuhnya.
Banyaknya DHE yang tidak masuk ke bank dalam negeri setidaknya tercermin dari pergerakan cadangan devisa (cadev). Cadev pada akhir November 2022 tercatat US$ 134 miliar.
Jika menilik posisi cadev per Desember 2021 yang tercatat US$ 144,9 miliar maka pada tahun ini cadev sudah terkuras US$ 10,9 miliar.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan periode 2019. Posisi Cadev per Desember 2019 mencapai US$ 129,18 miliar atau naik US$ 8,48 miliar sepanjang tahun tersebut. Neraca perdagangan pada 2019 tercatat defisit sebesar US$ 3,2 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)[Gambas:Video CNBC]