
Rupiah Agak 'Malas' Pekan Ini, tapi Cuma Tipis-Tipis Aja

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang rupiah sepanjang pekan ini kembali lesu, karena sentimen eksternal masih cenderung belum membaik.
Melansir dari Refinitiv pada pekan ini, rupiah turun tipis 0,08% secara point-to-point (ptp) dihadapan dolar Amerika Serikat (AS). Namun pada perdagangan Jumat (17/12/2022), rupiah mampu menguat 0,13% ke posisi Rp 15.595/US$.
Pelemahan yang dialami oleh rupiah merupakan bagian dari beragam sentimen buruk yang datang dari eksternal. Sentimen pelaku pasar yang memburuk, tidak hanya dirasakan oleh rupiah melainkan juga tercermin dari rontoknya bursa saham AS (Wall Street) dan bursa Eropa pada pekan ini.
Pada Kamis dini hari waktu Indonesia, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar setengah poin persentase atau 50 basis poin (bp) pada pertemuan terakhir di tahun 2022, sesuai dengan prediksi pasar sebelumnya, sehingga suku bunga acuan kini berada di kisaran 4,25% - 4,5%.
Dengan ini, maka The Fed sudah menaikkan suku bunga acuannya hingga 425 bp sepanjang tahun ini. Sebelum pertemuan terakhir, The Fed sempat menaikkan suku bunga acuannya hingga 75 bp dalam empat kali beruntun.
Meski laju kenaikannya sudah sesuai dengan harapan pasar, tetapi tetap membuat pasar kembali cemas, pasalnya pejabat The Fed mengindikasikan perlu lebih banyak data yang diperlukan sebelum The Fed mengubah sikap hawkish-nya dan pandangannya tentang inflasi secara signifikan.
Selain The Fed, dua bank sentral utama dunia juga menaikkan suku bunga kemarin, menjadi pemicu jebloknya bursa saham global, dan tentunya tidak menguntungkan bagi rupiah yang merupakan aset emerging market.
Adapun dua bank sentral tersebut yakni bank sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB) dan bank sentral Inggris (Bank of England/BoE).
Dengan kondisi pandangan hawkish yang tidak mengalami perubahan signifikan, ekonomi global diperkirakan masih akan berada dalam kondisi moneter yang ketat hingga beberapa waktu ke depan. Alhasil, resesi tinggal menghitung hari, dan ada risiko dalam serta panjang.
Uni Eropa diperkirakan akan mengalami resesi di kuartal I-2023, berdasarkan hasil survei terbaru Reuters ke para ekonom.
Kuartal I-2023 tinggal 15 hari lagi, artinya jika prediksi tersebut benar tidak lama lagi Benua Biru akan mengalami resesi.
Memang untuk mengkonfirmasi resesi produk domestik bruto (PDB) harus berkontraksi atau tumbuh negatif dalam dua kuartal beruntun.
Namun, rilis data PDB biasanya memakan waktu beberapa hari hingga minggu setelah kuartal berakhir, sehingga kepastian resesi baru akan diketahui paling cepat April 2023.
Median hasil survei dari Reuters menunjukkan kemungkinan resesi terjadi di Uni Eropa sebesar 78%, naik dari survei Oktober lalu sebesar 70%.
Sementara itu ekonom Bank of America memprediksi Negeri Paman Sam akan mengalami resesi di juga di kuartal I-2023, saat PDB-nya mengalami kontraksi 0,4%.
Pada Kamis lalu, data neraca perdagangan periode November 2022 resmi dirilis. Hasilnya kembali surplus.
Biro Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan kembali mencatat surplus sebesar US$ 5,16 miliar pada bulan lalu. Neraca perdagangan Indonesia kini sudah surplus dalam 31 bulan beruntun.
Ekspor Indonesia alami kenaikan 5,58% (yoy) menjadi US$ 24,12 miliar. Sementara secara bulanan ada penurunan 2,46%.
"Nilai ekspor November mencapai US$ 24,12 miliar," ungkap Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah dalam konferensi pers, Kamis (15/12/2022).
Sementara impor Indonesia mencapai US$ 18,96 miliar, atau turun 1,89% dibandingkan tahun lalu (yoy) dan turun 0,91% dibandingkan bulan sebelumnya.
"Impor Indonesia mencapai US$ 18,96 miliar," jelasnya.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 11 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada bulan lalu sebesar US$ 4,4 miliar.
Secara keseluruhan, surplus neraca perdagangan pada Januari-November 2022 tercatat US$ 50,59 miliar.
Meski demikian, data tersebut masih belum mampu mendongkrak kinerja rupiah. Fakta tersebut memperpanjang tren historisnya selama ini jika surplus neraca perdagangan tidak cukup kuat menopang nilai tukar rupiah. Begitu juga sebaliknya, defisit surplus neraca perdagangan tidak serta membuat nilai tukar rupiah terpuruk.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), maupun Refinitiv, pergerakan nilai tukar kerap tak sejalan dengan surplus neraca perdagangan.
Pada periode defisit panjang Oktober 2012-Juli 2013, rupiah sempat menguat pada November 2012 dan Februari 2013 atau kalaupun melemah terbilang tipis sebelum Mei 2013.
Rupiah baru mengalami guncangan hebat sejak Mei 2013 setelah The Fed mengumumkan akan mengakhiri kebijakan quantitative easing-nya.
Pada saat Indonesia mencatatkan rekor defisit pada April 2019 yakni US$ 2,3 miliar, rupiah juga hanya melandai tipis sekitar Rp 10/US$.
Indonesia juga pernah berada dalam periode defisit besar pada Oktober 2018-Januari 2019. Defisit tercatat US$ 1,76 miliar pada Oktober, sebesar US$ 2,05 miliar pada November, US$ 1,07 miliar pada Desember, serta US$ 0,98 miliar pada Januari 2019.
Namun, rupiah justru menguat tajam dari sekitar US$ 15.200/US$1 pada Oktober menjadi US$ 13.970/US$ pada akhir Januari 2019.
Ekonom BCA, Suryaputra Wijaksana mengatakan nilai tukar rupiah Indonesia lebih dipengaruhi oleh arus keluar masuk dana investor asing di pasar saham dan obligasi.
Banyaknya pendapatan ekspor yang tidak dibawa ke bank dalam negeri atau dikonversi ke dolar AS juga membuat nilai tukar kerap melemah di tengah impresifnya kinerja ekspor.
"Tidak semua hasil ekspor direpatriasi ke sistem perbankan dalam negeri.. Aliran dana asing masuk dan keluar di pasar obligasi dan saham juga lebih dominan dalam menentukan nilai tukar rupiah di jangka pendek," tutur Suryaputra kepada CNBC Indonesia, Jumat (16/12/2022).
Senada, ekonom Bank Maybank Indonesia, Juniman menjelaskan bahwa pelemahan rupiah saaat ini dipicu oleh derasnya capital outflow. Investor asing meninggalkan pasar keuangan Indonesua untuk memburu aset aman seperti dolar AS setelah The Fed memberlakukan kebijakan moneter yang agresif.
"Suku bunga Fed Fund Rate sangat cepat memicu capital outflow dari emerging markets ke AS," ujar Juniman, kepada CNBC Indonesia.
Berdasarkan data BI pada awal tahun hingga 8 Desember 2022, investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 140, 62 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sementara di pasar saham masih tercatat net buy sebesar Rp 73,27 triliun
Juniman juga menambahkan banyaknya Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang diparkir di luar negeri membuat rupiah tetap melemah meskipun ekspor moncer.
"Seyogyanya BI dan Pemerintah serta semua stakeholder duduk bareng untuk memformulasikan kembali regulasi DHE ini agar dana DHE ini diparkir di dalam negeri untuk periode tertentu.," imbuhnya.
Banyaknya DHE yang tidak masuk ke bank dalam negeri setidaknya tercermin dari pergerakan cadangan devisa (cadev). Cadev pada akhir November 2022 tercatat US$ 134 miliar.
Jika menilik posisi cadev per Desember 2021 yang tercatat US$ 144,9 miliar maka pada tahun ini cadev sudah terkuras US$ 10,9 miliar.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan periode 2019. Posisi Cadev per Desember 2019 mencapai US$ 129,18 miliar atau naik US$ 8,48 miliar sepanjang tahun tersebut. Neraca perdagangan pada 2019 tercatat defisit sebesar US$ 3,2 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Anjlok buat Money Changer Antre, Segini Harga Jualnya