Malaysia Krisis Pasokan CPO, Harga Melambung, RI Jadi Cuan?
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) meroket di sesi awal perdagangan Rabu (14/12/2022). Melanjutkan reli sejak perdagangan kemarin. Persediaan CPO Malaysia yang ketat turut meningkatkan harga CPO.
Melansir Refinitiv, harga CPO pada sesi awal perdagangan melesat 2,21% ke MYR 3.972/ton pada pukul 09:05 WIB.
Wang Tao, analis komoditas Reuters menilai harga CPO hari akan menguji titik resistance di MYR 4.029/ton, kemudian penembusan di atas titik resistance dapat menyebabkan kenaikan menjadi MYR 4.132/ton.
Pada Selasa (13/12), harga CPO ditutup naik tajam 4,01% menjadi MYR 3.887/ton (US$ 878,22/ton) dan menjadi kenaikan terbesar sejak 1 November 2022.
Kenaikan harga CPO tampaknya disebabkan oleh rilis dari Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB) yang menunjukkan bahwa persediaan CPO Malaysia turun untuk pertama kalinya dalam enam bulan sebesar 4,98% menjadi 2,29 juta ton pada akhir November 2022 karena produksi merosot di tengah sedikitnya ekspor.
"Dewan Minyak Sawit Malaysia baru saja merilis data bulan November, dan stoknya jauh lebih kecil dari perkiraan," kata seorang pedagang di Kuala Lumpur dikutip Reuters.
Selain itu, ringgit Malaysia melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membuat harga CPO menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang asing.
Harga CPO juga terdorong oleh harga minyak saingan yang lebih tinggi. Harga minyak kedelai di Dalian berakhir naik 0,14% dan di Chicago Board of Trade menguat 0,95%. Minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak terkait, karena mereka bersaing untuk mendapat bagian di pasar minyak nabati global.
Namun, Direktur Layanan Konsultasi Pertanian di IKON Commodities Sydney Ole Houe memprediksikan bahwa persediaan minyak sawit berjangka beserta komoditas jagung dan gandum akan tetap ketat dan mendukung harga pada 2023.
Menurutnya kekeringan atau terlalu banyak curah hujan, dibarengi dengan perang Rusia-Ukraina akan kembali mengekang produksi pertanian global tahun depan, sehingga membuat persediaan akan ketat.
"Penanaman lebih tinggi di beberapa negara tetapi hasilnya diperkirakan akan tetap lemah karena cuaca buruk dan faktor lainnya. Produksi tidak mungkin cukup untuk mengisi kembali pasokan yang telah ditarik," tuturnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/aaf)