Macro Insight

Waspada-Waspada! Pekan Ini Akan Penuh Gejolak, Mari Bersiap

Maesaroh, CNBC Indonesia
12 December 2022 10:30
Kemacetan lalu lintas terjadi di dekat JICT 1 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara (Jakut). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Kemacetan lalu lintas terjadi di dekat JICT 1 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara (Jakut). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Data inflasi AS dan keputusan The Fed akan menjadi pegangan utama pelaku pasar keuangan dalam negeri. Jika inflasi AS lebih kencang dibandingkan ekspektasi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah bisa terancam di zona merah mengingat investor asing akan semakin banyak yang meninggalkan pasar keuangan domestik.

Pekan lalu, investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 6,97 triliun di pasar saham. Kondisi ini berbanding terbalik dengan catatan net buy sebesar Rp 885,7 miliar pada pekan sebelumnya.

Sebaliknya, investor asing mulai masuk ke pasar Surat Berharga Negara (SBN). Data Bank Indonesia mencatat net buy sebesar Rp 8,45 triliun pada 5-8 Desember 2022. Bandingkan pada 19-22 September 2022 atau setelah The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 bps di mana tercatat net sell sebesar Rp 3,8 triliun.

BPS akan mengumumkan data neraca perdagangan November 2022 pada Kamis (15/12/2022).

Surplus neraca perdagangan pada Oktober 2022 tercatat US$ 5,67 miliar, lebih tinggi dibandingkan pada September 2022 yang tercatat US$ 4,99 miliar.

Surplus diperkirakan akan melandai pada November 2022. Selain karena melandainya harga sejumlah komoditas, impor diperkirakan  meningkat sejalan dengan pola historisnya.
Impor pada November biasanya akan melonjak untuk mengantisipasi meningkatnya permintaan menjelang Natal dan Tahun Baru.

Merujuk pada Refinitiv, rata-rata harga batu bara pada November 2022 tercatat US$ 340,2 per ton, lebih rendah dibandingkan harga Oktober yakni US$389,8 per ton. Batu bara menyumbang sekitar 15% dari ekspor Indonesia sehingga pelemahan harga akan berdampak kepada nilai ekspor.

Perlambatan ekonomi global, terutama di China, juga dikhawatirkan bisa menekan surplus neraca perdagangan ke depan.  

Surplus perdagangan China mencapai US$ 69,84 miliar pada November 2022, terendah sejak April 2022. Ekspor China melandai 8,7% (yoy) sementara impor mereka anjlok 10,6% (yoy) pada November 2022.

Melemahnya impor China menjadi sinyal jika permintaan domestik mereka tengah melandai dan ini bisa berdampak ke Indonesia mengingat Negara Tirai Bambu merupakan mitra perdagangan terbesar.

Pekan lalu, sejumlah CEO dari lembaga multinasional kembali mengingatkan ancaman resesi. Ancaman tersebut tidak hanya akan menekan laju perdagangan global tetapi juga pertumbuhan ekonomi dunia.

CEO Goldman Sachs David Solomon mengingatkan perekonomian global akan menghadapi  ketidakpastian serta periode yang bergejolak pada tahun depan. Dia menjelaskan kebijakan moneter ketat serta perkembangan ekonomi yang berganti begitu cepat membuat ekonomi global melambat.

CEO Goldman Sachs Jami Dimon mengatakan perekonomian global bisa jadi tidak hanya menghadapi resesi ringan tetapi badai. Sementara itu, CEO United Airlines Scott Kirby memperkirakan resesi ringan kemungkinan akan terjadi karena kebijakan ketat The Fed.

Ekonom Bank of America (BofA) bahkan memprediksi jika ekonomi AS akan memasuki resesi pada kuartal I-2023.

Terbaru, polling Reuters menunjukkan ekonom AS melihat Negeri Paman Sama akan segera masuk jurang resesi.  Sebanyak 27 dari 45 ekonom yang disurvei mengatakan Produk Domestik Bruto (PDB) AS akan terkontraksi salaam dua kuartal beruntun pada 2023.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular