Macro Insight

Waspada-Waspada! Pekan Ini Akan Penuh Gejolak, Mari Bersiap

Maesaroh, CNBC Indonesia
12 December 2022 10:30
Ilustrasi Jerome Powell (CNBC Indonesia/ Edward Ricardo)
Foto: ilustrasi Jerome Powell (Edward Ricardo/ CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan global dan domestik diproyeksi akan mengalami volatilitas yang cukup tinggi pada pekan ini. Pengumuman inflasi Amerika Serikat (AS), pertemuan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) hingga neraca perdagangan akan menjadi sentimen terbesar.

AS akan merilis data inflasi November pada Selasa (13/12/2022) atau hanya sehari sebelum The Fed menggelar rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 13-14 Desember.

Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistk (BPS) akan mengumumkan data negara perdagangan November 2022. Pekan ini, Dewan Perwakilan rakyat (DPR) juga diagendakan menggelar rapat paripurna untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK).

Konsesus pasar memperkirakan inflasi AS akan melandai ke 7,4% (year on year/yoy) pada November 2022 dari 7,7% (yoy) pada Oktober 2022.

Polling Reuters menunjukkan 93% responden memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps. Seperti diketahui, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan secara agresif sebesar 375 bps sepanjang tahun ini menjadi 3,75-4,0%.

Ekspektasi kenaikan sebesar 50 bps ini menguat setelah Chairman The Fed Jerome Powell mengatakan bank sentral AS siap menaikkan suku bunga secara moderat.

Namun, sejumlah data dan indikator ekonomi AS menunjukkan arah yang saling berlawanan. Indeks Harga Produsen, PMI sektor jasa, dan sentimen konsumen masih tinggi. Data ini menjadi sinyal jika ekonomi AS masih baik-baik saja.
Sebaliknya, data pengangguran, data aktivitas bisnis PMI Manufaktur, dan permintaan kredit rumah menunjukkan ada perlambatan pada ekonomi AS.

Indeks Harga Produsen (Producer Price Index/PPI) AS pada November 2022 tercatat 0,3% (month to month/mtm), lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar yakni 0,3%.


Secara tahunan (year on year/yoy), IPP naik 7,4%. Besaran tersebut adalah yang terendah sejak Mei 2022 tetapi masih lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar yakni 7,2%.

PMI sektor jasa AS mencapai 56,5 pada November 2022. Nilai tersebut jauh di atas ekspektasi pasar yang hanya memperkirakan 53,3.

Sementara itu, data initial job claims atau klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir pada 3 Desember 2022 mencapai 230.000. Jumlah ini sesuai dengan ekspektasi pasar. Jumlah tersebut juga naik dibandingkan pada pekan sebelumnya yakni 226.000.

Pengangguran di AS mencapai 3,7% pada November 2022, tidak berubah dibandingkan Oktober. Permintaan kredit rumah di AS turun 1,9% pekan lalu dibandingkan bulan sebelumnya.
Sementara itu, S&P Global juga menunjukkan PMI Manufaktur ambruk ke 47,7 pada November 2022. Ini adalah kali pertama PMI Manufaktur AS berada di bawah fase ekspansif (50) sejak Juni 2020.

Laju inflasi AS menjadi pertimbangan utama The Fed dalam menentukan kebijakan moneter. Meskipun inflasi AS kini sudah melandai 7,7% (yoy) pada Oktober tetapi angkanya masih jauh di atas target The Fed di kisaran 2%.

Indikator ekonomi AS yang saling berjalan bertentangan menunjukkan belum efektifnya kebijakan suku bunga ketat The Fed di semua sektor.

Data inflasi AS dan keputusan The Fed akan menjadi pegangan utama pelaku pasar keuangan dalam negeri. Jika inflasi AS lebih kencang dibandingkan ekspektasi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah bisa terancam di zona merah mengingat investor asing akan semakin banyak yang meninggalkan pasar keuangan domestik.

Pekan lalu, investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 6,97 triliun di pasar saham. Kondisi ini berbanding terbalik dengan catatan net buy sebesar Rp 885,7 miliar pada pekan sebelumnya.

Sebaliknya, investor asing mulai masuk ke pasar Surat Berharga Negara (SBN). Data Bank Indonesia mencatat net buy sebesar Rp 8,45 triliun pada 5-8 Desember 2022. Bandingkan pada 19-22 September 2022 atau setelah The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 bps di mana tercatat net sell sebesar Rp 3,8 triliun.

BPS akan mengumumkan data neraca perdagangan November 2022 pada Kamis (15/12/2022).

Surplus neraca perdagangan pada Oktober 2022 tercatat US$ 5,67 miliar, lebih tinggi dibandingkan pada September 2022 yang tercatat US$ 4,99 miliar.

Surplus diperkirakan akan melandai pada November 2022. Selain karena melandainya harga sejumlah komoditas, impor diperkirakan  meningkat sejalan dengan pola historisnya.
Impor pada November biasanya akan melonjak untuk mengantisipasi meningkatnya permintaan menjelang Natal dan Tahun Baru.

Merujuk pada Refinitiv, rata-rata harga batu bara pada November 2022 tercatat US$ 340,2 per ton, lebih rendah dibandingkan harga Oktober yakni US$389,8 per ton. Batu bara menyumbang sekitar 15% dari ekspor Indonesia sehingga pelemahan harga akan berdampak kepada nilai ekspor.

Perlambatan ekonomi global, terutama di China, juga dikhawatirkan bisa menekan surplus neraca perdagangan ke depan.  

Surplus perdagangan China mencapai US$ 69,84 miliar pada November 2022, terendah sejak April 2022. Ekspor China melandai 8,7% (yoy) sementara impor mereka anjlok 10,6% (yoy) pada November 2022.

Melemahnya impor China menjadi sinyal jika permintaan domestik mereka tengah melandai dan ini bisa berdampak ke Indonesia mengingat Negara Tirai Bambu merupakan mitra perdagangan terbesar.

Pekan lalu, sejumlah CEO dari lembaga multinasional kembali mengingatkan ancaman resesi. Ancaman tersebut tidak hanya akan menekan laju perdagangan global tetapi juga pertumbuhan ekonomi dunia.

CEO Goldman Sachs David Solomon mengingatkan perekonomian global akan menghadapi  ketidakpastian serta periode yang bergejolak pada tahun depan. Dia menjelaskan kebijakan moneter ketat serta perkembangan ekonomi yang berganti begitu cepat membuat ekonomi global melambat.

CEO Goldman Sachs Jami Dimon mengatakan perekonomian global bisa jadi tidak hanya menghadapi resesi ringan tetapi badai. Sementara itu, CEO United Airlines Scott Kirby memperkirakan resesi ringan kemungkinan akan terjadi karena kebijakan ketat The Fed.

Ekonom Bank of America (BofA) bahkan memprediksi jika ekonomi AS akan memasuki resesi pada kuartal I-2023.

Terbaru, polling Reuters menunjukkan ekonom AS melihat Negeri Paman Sama akan segera masuk jurang resesi.  Sebanyak 27 dari 45 ekonom yang disurvei mengatakan Produk Domestik Bruto (PDB) AS akan terkontraksi salaam dua kuartal beruntun pada 2023.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Alarm Krisis Masih Menyala, Fed Tetap Kerek Suku Bunga 25 Bps

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular