CNBC Indonesia Research

Ekonomi Gelap 2023, Siap-siap BI Pontang Panting!

maesaroh, CNBC Indonesia
Rabu, 30/11/2022 07:15 WIB
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian global dan domestik diproyeksi masih menghadapi awan gelap pada tahun depan. Bank Indonesia (BI) sebagai pemangku kebijakan moneter pun dihadapkan pada pekerjaan berat untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas ekonomi sekaligus mendorong pertumbuhan.

Perang Rusia-Ukraina, lonjakan inflasi, dan tren kenaikan suku bunga global mengubah wajah perekonomian global pada tahun ini.

Optimisme pemulihan ekonomi yang berhembus pada awal 2022 lenyap dan berbalik arah menjadi awan suram setelah meletusnya perang Rusia-Ukraina pada akhir Februari 2022.


Awan gelap diproyeksi masih membayangi perekonomian ke depan mulai dari tren kenaikan suku bunga global hingga ancaman resesi. Bank Indonesia (BI) sebagai pemangku kebijakan moneter pun akan dihadapkan pada tugas berat karena banyaknya faktor negatif yang membayangi ekonomi tahun depan.

 Sejumlah faktor negatif dan risiko yang harus ditangani BI tahun depan, di antaranya:

1. Kebijakan Suku Bunga

BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 175 basis points (bps) hanya dalam kurun waktu empat bulan terakhir menjadi 5,25%. BI mengerek suku bunga sebesar 25 bps pada Agustus dan menaikkan masing-masing sebesar 50 bps pada September-November.

Kenaikan suku bunga acuan sebesar 175 bps dalam kurun waktu empat bulan pada 2022 adalah yang paling agresif sejak 2005 atau tahun pertama di mana BI mengenalkan kebijakan moneter sebagai kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF)) pada 1 Juli 2005.

Pada 2005, BI mengerek suku bunga sebesar 425 bps dari 8,50% pada Juli 2005 menjadi 12,75% pada Desember 2005 atau dalam kurun waktu lima bulan.

BI menjelaskan suku bunga perlu dinaikkan untuk menjangkar ekspektasi inflasi, menjaga nilai tukar rupiah, dan mengantisipasi kebijakan agresif bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed).

Kebijakan moneter BI yang sangat agresif pada empat bulan terakhir ini berbanding terbalik dengan stance mereka dari awal hingga pertengahan tahun ini.

Kubu MH Thamrin masih mempertahankan suku bunga acuan di level 3,50% sampai Juli 2022. Keputusan tersebut terbilang tak biasa mengingat tren suku bunga global sudah mengarah kepada pengetatan sejak awal tahun.

Bank sentral negara maju seperti Swiss, Eropa, Amerika Serikat (AS), hingga negara Asia seperti Korea Selatan sudah mulai mengerek suku bunga sebelum tengah tahun.
The Fed sudah mulai mengerek suku bunga acuan sejak Maret 2022. Sepanjang tahun ini, The Fed bahkan sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 375 bps menjadi 3,75-4,0%.

BI baru menaikkan suku bunga pada Agustus 2022 setelah ada sinyal kuat dari pemerintah jika mereka akan menaikkan harga BBM subsidi.



Sejumlah lembaga dan analis memperkirakan kebijakan moneter BI masih akan ketat sampai The Fed mengerem kebijakan moneter ketatnya.
Sebagai catatan, The Fed sudah mengerek suku bunga acuan mereka sebesar 375 bps pada tahun ini.

"Kami melihat kenaikan suku bunga sebesar 50 bps adalah hal yang tepat dan seharusnya tidak dihentikan dalam waktu dekat. Kami masih melihat ada ruang bagi BI untuk menaikkan suku bunga acuan hingga menjadi 6,25% pad awal kuartal II-2023," ujar Wisnu, kepada CNBC Indonesia.

Kebijakan moneter ketat BI bukannya tanpa risiko. Kenaikan suku bunga acuan yang sangat agresif bisa berdampak kepada pertumbuhan ekonomi, permintaan kredit, hingga perlambatan konsumsi


(mae)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Sinyal Lesunya Ekonomi RI, Kredit Perbankan Melambat Lagi

Pages