CNBC Indonesia Research

Kebijkan BI Agresif, Masihkah Ekonomi RI Baik-Baik Saja?

Maesaroh, CNBC Indonesia
22 November 2022 15:55
Ilustrasi Bank Indonesia
Gedung BI

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 175 basis points (bps) hanya dalam kurun waktu empat bulan. Kebijakan BI ini dikhawatirkan akan mengganggu pemulihan ekonomi nasional.

Sebagai catatan, kenaikan suku bunga acuan BI sebesar 175 bps dalam kurun waktu empat bulan adalah yang paling agresif sejak 2005 atau 17 tahun terakhir.

BI pertama kali menaikkan suku bunga acuan tahun ini pada Agustus yakni sebesar 25 bps. Bank sentral RI tersebut kemudian mengerek suku bunga acuan 50 bps selama tiga bulan beruntun yakni September-November 2022.

Ekonom Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rully Arya Wisnusubroto mengatakan risiko terbesar dari kenaikan suku bunga secara agresif ada pada pertumbuhan ekonomi.

"Risiko terbesar dari kenaikan agresif adalah mengganggu pemulihan ekonomi," tutur Rully, kepada CNBC Indonesia.



Rully memperkirakan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2022 hanya akan menyentuh 4,4-4,7% (year on year/yoy). Pertumbuhan tersebut akan lebih rendah dibandingkan pada kuartal III-2022 yang tercatat 5,72%.

Dia menambahkan alasan utama dari kenaikan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada November adalah untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

BI kemudian lebih memilih kebijakan makroprudensial yang akomodatif untuk tetap menopang pertumbuhan di tengah kebijakan agresif moneternya. Salah satunya adalah dengan melanjutkan kebijakan down payment (DP) 0% guna mendorong sektor properti.

"Memang harus menyeimbangkan antara pemulihan ekonomi dengan stabilitas harga, termasuk nilai tukar," imbuhnya.

Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan ekonomi Indonesia masih aman meskipun BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 150 bps karena memiliki fundamental yang kuat.

Dia menjelaskan kebijakan agresif BI adalah untuk mengimbangi kebijakan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed).
Andry memperkirakan BI akan menurunkan kebijakan moneter agresifnya dalam waktu dekat.

Bank Mandiri memperkirakan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate (B7DRR) akan berada di level 5,50%. Artinya, BI kemungkinan hanya akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada Desember mendatang.


"Mestinya masih aman (ekonomi Indonesia). Saya rasa habis ini BI akan nurunin pacenya," tutur Andry.

Sejak mengenalkan kebijakan moneter sebagai kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF) pada 2005, BI beberapa kali memberlakukan kebijakan yang sangar agresif yakni pada 2005,2008, 2013, dan 2018.

BI memberlakukan kebijakan moneter ketat pada 2013 dengan menaikkan suku bunga secara kumulatif 175 bps dalam rentang tujuh bulan. Suku bunga naik dari 5,75% pada Mei menjadi menjadi 7,50 % pada Desember 2013.

Kebijakan ketat kembali diberlakukan BI pada 2018. BI secara keseluruhan mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps dalam kurun waktu tujuh bulan, dari 4,25% pada April 2018 menjadi 6,0% pada November 2018.

Kebijakan ketat pada dua periode tersebut memiliki kesamaan yakni adanya tekanan besar dari sisi eksternal berupa kebijakan ketat suku bunga The Fed.

Pada 2013, kebijakan agresif ditempuh untuk menekan goncangan ketidakpastian global pada periode "taper tantrum" setelah The Fed mengetatkan kebijakan longgarnya (quantitative easing).

Pada 2018, kebijakan moneter ketat diambil sebagai langkah pre-emptive dan ahead the curve mengantisipasi kebijakan ketat suku bunga global.

Namun, ada perbedaan besar dari periode tersebut yakni laju inflasi. Pada 2018, inflasi terbilang rendah yakni di kisaran 3% dari 3,25% (yoy) pada Januari 2018 menjadi 3,13% (yoy) pada Desember 20018.

Sebaliknya, inflasi pada 2013 melonjak tajam karena ada kenaikan harga BBM subsidi pada Juni. Inflasi melonjak dari 4,57% pada Januari 2013 menjadi 8,38% pada Desember.

Dua kondisi yang berbeda pada 2013 dan 2018 berdampak beda pula terhadap laju pertumbuhan ekonomi, permintaan kredit, hingga investasi.

Fakta bahwa 56% pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi masyarakat juga sangat berpengaruh. Lonjakan inflasi karena kenaikan harga BBM secara historis sangat berpengaruh terhadap laju konsumsi masyarakat dan pertumbuhan investasi Indonesia.

Lonjakan inflasi karena kenaikan harga BBM secara historis sangat berpengaruh terhadap laju konsumsi masyarakat dan pertumbuhan investasi Indonesia.

Kebijakan ketat BI pada 2013, langsung menurunkan pertumbuhan kredit, investasi, dan ekonomi. Ekonomi Indonesia yang semula tumbuh di kisaran 6,03% pada 2012 langsung melemah ke kisaran 5,55%.

Pertumbuhan investasi bahkan jeblok dari 7,55% (yoy) pada kuartal I-2013 menjadi 1,99% pada kuartal IV-2013. Rata-rata investasi hanya tumbuh 5,1% pada 2013 sementara pada 2012 mampu tumbuh 9,3%.

Merujuk pada Laporan Perekonomian Indonesia 2013, kredit pada 2013 juga melandai menjadi 21,6%pada 2013 dari 23,1% pada 2012.

"Kenaikan suku bunga kredit, di tengah penerapan strategi bauran kebijakan BI yang cenderung ketat serta perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik, memengaruhi pertumbuhan kredit pada 2013," tulis Bank Indonesia.

BI menjelaskan apabila menghilangkan faktor rupiah yang terdepresiasi, pertumbuhan kredit pada akhir 2013 hanya mencapai kisaran 18%.

Perlambatan pertumbuhan kredit terutama terjadi di sektor konsumsi khususnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) serta kredit kepada korporasi.

Kondisi berbeda terjadi pada 2018 di mana kenaikan suku bunga sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal tetapi tidak ada persoalan inflasi di dalam negeri.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya turun tipis dari 5,19% pada 2017 menjadi 5,17% pada 2018.

Pertumbuhan investasi bahkan meningkat dari 5,81% (yoy) pada kuartal II-2018 menjadi 6,14% pada kuartal IV-2018. Rata-rata investasi tumbuh 6,68%.  Pertumbuhan kredit perbankan juga meningkat dari 7% pada Januari 2018 menjadi 11,7% pada Desember 2018.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular