Mayoritas Mata Uang di Asia Sukses Nanjak, Rupiah Kok Loyo?
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar sempat menguat kemudian kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hingga pada pertengahan perdagangan Selasa (22/11/2022). Di saat mayoritas mata uang di Asia menguat terhadap si greenback.
Mengacu pada data Refinitiv, pada pembukaan perdagangan rupiah terapresiasi tipis 0,13%. Kemudian, rupiah terkoreksi sebesar 0,05% ke Rp 15.710/US$ pada pukul 11:00 WIB.
Investor global masih menantikan risalah pertemuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan dirilis pada Kamis dini hari waktu Indonesia. Secara luas, para analis memprediksikan bahwa Fed akan hawkish untuk menurunkan angka inflasi ke target Fed di 2%.
Jika mengacu pada alat ukur FedWatch, sebanyak 80,6% analis memprediksikan bahwa Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 bps pada pertemuan selanjutnya di 14 Desember 2022.
Ditambah, adanya kasus penyebaran Covid di China yang kembali meningkat, membuat kekhawatiran investor kian meninggi, sehingga indeks dolar AS yang menyandang status safe haven kembali di untungkan.
"Daya tarik safe haven dolar AS kembali populer karena kekhawatiran di sekitar China dan wabah Covid membuat pasar gelisah," tutur Ahli Strategi Mata Uang di National Australia Bank (NAB) dikutip Reuters.
Pada Senin (21/11), Presiden Cleveland Loretta Mester memprediksikan bahwa Fed akan beralih ke kenaikan suku bunga lebih kecil pada Desember 2022 karena bersiap untuk memerangi inflasi yang tinggi sambil menjaga ekonomi tetap stabil.
"Saya pikir kita bisa memperlambat dari 75 pada pertemuan berikutnya. Saya tidak masalah dengan itu, menurut saya itu sangat tepat, tapi saya pikir kita harus membiarkan ekonomi memberi tahu kita ke depan kecepatan apa yang harus kita tempuh," kata Mester dalam wawancara dengan CNBC International.
Jika Fed akan kembali menaikkan suku bunga acuannya hingga akhir tahun ini, maka ruang Bank Indonesia (BI) untuk tidak mengekor bank sentral utama dunia tersebut menjadi kian sempit. Pasalnya, Mata Uang Garuda kian terdepresiasi.
Melansir Refinitiv, per hari ini, rupiah telah terkoreksi sebanyak 9,1% di hadapan dolar AS secara year to date. Kini, rupiah menduduki posisi ke-6 di Asia. Posisi tersebut kian tergeser dari posisi ke-3 pada bulan sebelumnya. Hal tersebut karena fenomena strong dollar yang terjadi karena the Fed telah agresif menaikkan suku bunga acuannya. Di sepanjang tahun ini, Fed telah menaikkan suku bunga sebanyak 375 bps.
Pada rapat kerja BI dengan Komisi XI di DPR, Gubernur BI Perry Warjiyo mengaku pihaknya telah melakukan berbagai upaya agar rupiah tidak melemah terlalu dalam.
"Nilai tukar kami tahun ini memang mati-matian untuk menstabilkan nilai tukar," tegas Perry, dikutip Selasa (22/11/2022).
Dalam upaya tersebut, Perry mengungkapkan BI telah menghabiskan cadangan devisa dalam intervensi rupiah.
"Kami intervensi dalam jumlah yang besar. Cadangan devisa kami turun dari US$ 139,9 miliar menjadi sekitar US$ 130,1 miliar," paparnya.
Ke depannya, dia berjanji akan menjaga cadangan devisa untuk tidak kembali terkuras. Oleh karena itu, BI harus putar otak agar devisa hasil ekspor bisa tetap tinggal lebih lama di dalam negeri.
Bahkan, Perry dengan lugas mengungkapkan negosiasi yang dilakukan bank sentral demi menahan dolar para eksportir agar tetap disimpan di dalam negeri.
Namun, mayoritas mata uang di Asia sukses menguat terhadap si greenback, di mana baht Thailand dan yen Jepang memimpin penguatan yang masing-masing sebesar 0,3% dan 0,25%. Disusul oleh dolar Taiwan yang terapresiasi 0,24% di hadapan dolar AS.
Sedangkan, dolar Hong Kong dan rupiah terkoreksi yang masing-masing sebesar 0,08% dan 0,05%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/aaf)