Rupiah Jeblok ke Rp 15.650/US$, Terlemah Sejak April 2020

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 November 2022 09:17
Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (1/11/2022), bahkan cukup jauh ke atas Rp 15.600/US$. Rupiah masih tertekan meski ada kabar baik dari dalam negeri. 

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,16% ke Rp 15.620/US$. Depresiasi semakin membengkak hingga 0,35% ke Rp 15.650/US$. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak pertengahan April 2020.

Kemarin rupiah menutup Oktober dengan pelemahan 0,3%. Sepanjang Oktober pelemahannya sebesar 2,4%, dan membukukan pelemahan 3 bulan beruntun. 

The Fed yang akan mengumumkan kebijakan moneter di pekan ini membuat rupiah kesulitan menguat. Pelaku pasar menanti kepastian apakah Jerome Powell dan kolega masih akan terus agresif ke depannya atau tidak.

Ada harapan, The Fed akan mulai mengendurkan laju kenaikan suku bunganya.

Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) akan mengumumkan kebijakan moneternya pada siang ini. Pada pengumuman Oktober lalu, RBA mengejutkan pasar dengan menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 2,85%. Terbilang mengejutkan, sebab pasar memperkirakan RBA akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin.

Sementara untuk hari ini, pasar melihat RBA akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin, sesuatu yang dianggap normal.

Pada pekan lalu, giliran bank sentral Kanada (Bank of Canada/BoC) yang mengejutkan dengan kenaikan suku bunga suku bunga 50 basis poin menjadi 3,5%, lebih rendah dari ekspektasi pasar 75 basis poin.

BoC bahkan mengatakan, periode kenaikan suku bunga sebentar lagi akan berakhir, sebab perekonomiannya diperkirakan akan stagnan dalam 3 kuartal ke depan.

Dua bank sentral utama dunia yang mulai mengendurkan kenaikan suku bunganya tentunya membuat pelaku pasar melihat The Fed bisa melakukan hal yang sama.

Sementara itu dari dalam negeri, S&P Global pagi tadi melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Indonesia tumbuh 51,8 pada Oktober. Meski turun cukup dalam dari bulan sebelumnya 53,7 tetapi masih berada di atas 50.

Angka di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya adalah kontraksi.

Jika dilihat lebih detail, laporan S&P global menyatakan tingkat keyakinan bisnis naik ke level tertinggi sejak Maret. Hal ini tentunya menjadi kabar yang sangat bagus di tengah isu resesi dunia, nilai tukar rupiah yang terpuruk dan Bank Indonesia (BI) yang terus mengerek suku bunga acuannya dalam 3 bulan beruntun sebesar 125 basis poin menjadi 4,75%.

Saat suku bunga acuan naik, berisiko menghambat ekspansi dunia usaha, sebab suku bunga kredit, baik investasi maupun modal kerja, akan mengalami kenaikan.

Kenaikan tingkat keyakinan bisnis dalam kondisi tersebut memberikan harapan ekspansi sektor manufaktur akan terus berlanjut.

Pasar kini menanti kabar baik selanjutnya, yakni data inflasi Indonesia. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan inflasi Oktober akan menembus 0,08% dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm). Inflasi bulanan Oktober jauh lebih kecil dibandingkan yang tercatat pada September yakni 1,17% (mtm).

Hasil polling juga memperkirakan inflasi secara tahunan (year on year/yoy) akan sebesar 5,95% atau sama dengan pertumbuhan September. Hasil polling tersebut lebih rendah ketimbang yang dilakukan Reuters sebesar 6% (yoy).

Inflasi yang mulai melandai tentunya menjadi kabar baik, daya beli masyarakat masih bisa dijaga dan mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi.

Sektor industri pengolahan merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar berdasarkan lapangan usaha, kontribusinya hampir 18% di kuartal II-2022. Sementara dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga menjadi yang terbesar, dengan kontribusi lebih dari 51%, Oleh karena itu, sangat penting menjaga inflasi agar tidak lepas kendali.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Kabar Gembira di Awal 2023, Rupiah Siap Ngegas!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular