CNBC Indonesia Research

Ini Dia 8 Alasan Pelemahan Rupiah Atas Dolar AS Bisa Lama

Tim Riset, CNBC Indonesia
Rabu, 26/10/2022 11:05 WIB
Foto: Infografis/Duh Rupiah! Awal Tahun Rp 14.200/US$, Kini Rp 15.600/US$ /Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena penguatan atau strong dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang seluruh dunia terus-terusan menjadi-jadi. Beberapa data menunjukkan situasinya mirip-mirip dengan krisis mata uang parah Asia 1997-1998.

Penguatan dolar AS membuat apa-apa yang terkait dengannya menjadi lebih mahal, mulai dari harga barang dan jasa impor hingga biaya utang. Juga, kalkulasi IMF menunjukkan setiap pelemahan 10% mata uang terhadap dolar AS itu setara dengan kenaikan inflasi 1% di negara yang kursnya terdepresiasi.

Sekarang, kurs rupiah melemah di kisaran 9,5% terhadap greenback (dolar AS) sepanjang tahun ini, atau level terendah dalam dua setengah tahun terakhir. Selasa kemarin (26/10/2022) Mata Uang Garuda kembali melemah ke Rp 15.620/US$, dan banyak yang percaya tak lama lagi menatap angka Rp16.000/US$--level yang menurut sejumlah pedagang valas sudah berbahaya.


Meskipun begitu, Indonesia termasuk 'top five' di Asia dalam urusan 'kuat-kuatan' nilai tukar terhadap dolar AS. Penguatan kurs dolar AS murni terjadi akibat kelangkaan pasokannya yang tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga dunia. Berikut beberapa faktor penyebabnya secara global dan lokal yang berpotensi membuat pelemahan rupiah dalam waktu yang lama.

1. Kenaikan Suku Bunga Acuan AS

Ini adalah faktor pertama dan utama, sebab kenaikan suku bunga acuan AS/ Fed fund rate-yang merepresentasikan suku bunga pinjaman harian antar bank di sana-membuat tingkat pengembalian investasi pada aset-aset berdenominasi dolar AS menjadi semakin lebih menarik dan aman. Ini disimbolkan oleh tingkat imbal hasil atau yield obligasi pemerintah AS, yang saat ini, untuk tenor 10 tahun sudah di atas 4%, atau tertinggi sejak krisis global 2008.

Bank sentral AS (the Federal Reserve/Fed) agresif menaikkan suku bunga karena gelagat inflasi yang tak beres di AS mulai terendus pada awal tahun ini. Mereka mulai merespon situasi dengan menaikkan suku bunga pada pertemuan anggota dewan Fed, atau FOMC pada Maret 2022. Fed sangat agresif, dengan menaikkan suku bunga hingga 300 basis poin (bp) dalam tempo tidak sampai satu tahun, menjadi 3.00-3.25% pada pertemuan September lalu.

Memang, tingkat inflasi tahunan AS sudah melandai sejak Juni yang mencapai 9,1% menjadi 8,2% pada September, tetapi level 8% tetap tertinggi sejak era great inflation 1980-an. Karenanya, Fed diprediksi akan terus menaikkan suku bunga acuannya, hingga inflasi mereda di kisaran target jangka panjang 2%. Rapat FOMC selanjutnya berlangsung bulan depan, dan diprediksi ada kenaikan sehingga makin memperkering likuditas dolar AS.

2. Operasi Quantitative Tightening (QT), Tak Ada Lagi Cetak Uang!

Selain menaikkan suku bunga, the Fed juga agresif menarik dolar AS yang ada di sistem keuangan mereka. Rencananya, Fed akan menyedot lebih dari US$522 miliar uang dari sistem keuangan AS sampai akhir 2022, dan lebih dari US$1,1 triliun di akhir 2023.

Caranya, The Fed memulai lego besar-besaran aset berupa obligasi pemerintah AS dan mortgage-backed securities (di Indonesia, sejenis kontrak investasi kolektif efek beragun aset/KIK EBA)yang ada di neracanya sejak Juni lalu. Dimulai dengan penjualan maksimal US$47,5 miliar perbulan, dan dinaikkan batasannya menjadi US$95 miliar pada pertemuan FOMC di September.

Hitungan Fed, setiap US$1,5 triliun penjualan asetnya itu setara dengan efek kenaikan suku bunga acuan 100 bp atau 1%.Ini adalah lawan dari kebijakan cetak uang ala the Fed atau quantitative easing (QE) yang gencar dilakukan mulai krisis 2008 untuk menstimulan ekonomi. Saat ini, yang ada kebijakan sebaliknya, giat menyedot uang beredar di masyarakat atau istilah populernya quantitative tightening (QT).

Sekedar info, jumlah obligasi pemerintah AS dan mortgage-backed securities di neraca the Fed saat ini mencapai US$9 triliun. Mereka akan menjual itu dan pastinya memicu kelangkaan uang dolar AS dimana mana hingga tahun-tahun mendatang. Uang greenback tersedot, kembali ke mesin pencetaknya, Fed dengan cara ditukar dengan obligasi AS yang dibeli oleh pelaku pasar di sana.

3. Sumber-Sumber Dolar AS Mengering

Global Trade Analytics Suite edisi Oktober 2022 memprediksi pertumbuhan perdagangan dunia tahun ini kontraksi, atau di bawah nol dan berlanjut hingga 2023 sebelum naik kembali pada 2024.

Data Drewry's composite World Container Index menunjukkan penurunan 8% menjadi pada pekan kedua Oktober. Ini adalah penurunan ke 32 minggu berturut-turut, dan level harganya ambrol 64% di bawah pekan yang sama tahun lalu.Data ini menunjukkan, harga sewa kontainer ukuran 40 kaki, untuk pengapalan barang ekspor-impor telah jatuh ke titik terendah, berada pada satu persen di bawah harga rata-rata selama lima tahun terakhir.

Penurunan aktivitas perdagangan dunia menyebabkan berkurangnya likuditas dolar AS secara global, sebab dari sanalah likuditas dolar AS menyebar keberbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Menurut data Dana Moneter Internasional, pangsa pasar ekspor AS dalam perdagangan dunia memang telah turun, dari 12% menjadi 8% sejak tahun 2000, namun pangsa pasar mata uang dolar AS dalam kegiatan perdagangan dunia tetap bertahan di kisaran 40%.

Untuk di Indonesia, kelangkaan juga dipicu oleh pertumbuahan impor tinggi, yang mencerminkan kebutuhan dolar AS. Meskipun tercatat selalu surplus dalam neraca dagang, namun nilai impor secara tahunan tumbuh lebih tinggi, mencapai 36,77%% pada Januari versus pertumbuhan ekspor di bulan yang sama 25,31%

Ini terus berlanjut, hingga rekaman terakhir September dimana impor mencapai US$19,81 miliar, naik 22% versus bulan yang sama 2021. Bandingkan dengan laju ekspor yang lebih lambat, sebesar 20,28%.

4. Eksportir Sengaja Tahan Dolar AS

Kenaikan suku bunga acuan di AS turut diikuti oleh kenaikan suku bunga simpanan valuta asing (valas) dimana pun berada, termasuk Indonesia. Prospek ekonomi yang suram dan estimasi penguatan dolar di masa mendatang, membuat banyak pemilik dolar AS, cenderung menyimpan duit nya dalam bentuk simpanan.

Lebih runyamnya lagi, banyak yang kemudian menukarkan tabungan rupiahnya ke tabungan dalam bentuk dolar. Ini tercermin dari data Bank Indonesia dimana dana pihak ketiga (DPK) valas perbankan tumbuh 12,1% secara tahunan menjadi Rp 1.050 triliun pada Agustus 2022. Pertumbuhannya jauh lebih tinggi dari DPK rupiah yang hanya naik 7,6% menjadi Rp 6.305 triliun.

Sementara data terbaru, pertumbuhan DPK valas pada September melambat, jadi 8,4% sementara pertumbuan kredit, yang mencerminkan kebutuhan akan valas naik signifikan, bertumbuh 18,1%.

Eksportir, sebagai penghasil pundi-pundi devisa memang mulai banyak mengalihkan dana hasil ekspor (DHE) ke bank dalam negeri setelah aturan relaksasi-dapat menyimpan di luar negeri-oleh BI dicabut pada September lalu. Namun banyak diantara mereka tetap enggan menukarnya dalam rupiah. Mereka, lebih nyaman menyimpan dalam bentuk dolar AS, mengingat prospek suram ekonomi ke depan.

5. Asing Berbondong Keluar Dari Pasar Obligasi

Data Kementerian Keuangan, jumlah dana asing keluar dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia tahun ini per 18 Oktober 2022, lalu mencapai mencapai Rp 172,80 triliun, atau setara lebih dari US$11 miliar. Dari dana itu, sebanyak Rp29 triliun terjadi pada September, dan Rp 12 triliun terjadi pada bulan ini.

Dana keluar atau outflow obligasi tersebut tampaknya benar-benar keluar dari Indonesia, dan tidak masuk ke pasar saham yang status aliran dana asingnya masih positif. Ini karena secara tipikal, investasi di saham lebih berisiko dibandingkan investasi di obligasi pemerintah. Biasanya, perpindahan aliran dana dari obligasi ke saham hanya terjadi saat prospek ekonomi membaik, sementara sekarang yang terjadi berkebalikan.

6. Bayar Dividen dan Bayar Utang

Aliran keluar dolar AS dari Indonesia juga dipicu oleh aktivitas perusahaan yang mayoritas kepemilikannya asing. Mereka hendak membagikan keuntungan perusahaan atau dividen kepada si pemilik. Biasanya menukarkan pendapatan mereka dalam rupiah menjadi dolar AS untuk di transfer ke rekening pemilik.

Jumlah mereka cukup banyak dan meningkat karena banyak diantara investor asing yang berbisnis di Indonesia menghasilkan pendapatan dalam bentuk rupiah. Ini karena orientasi pasar mereka ada di dalam negeri, dan bukan untuk tujuan ekspor. Inilah yang membuat permintaan dolar AS meningkat. Buktinya, bisa dilacak dari data investasi milik Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dimana nilai realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) naik.

Realisasi PMA naik dari US$7,7 miliar pada kuartal pertama 2021, menjadi US$11,4 miliar pada kuartal II tahun ini. Mereka yang berinvestasi ini secara reguler meminta pembayaran keuntungan dalam bentuk valas, atau umumnya dolar AS.

Kebutuhan ini belum termasuk perusahaan Indonesia yang hendak membayar utang dalam bentuk dolar AS. Ambil contoh, kelompok usaha Bakrie yang baru-baru ini menerbitkan saham baru senilai US$1,6 miliar untuk PT Bumi Reseources yang hasilnya akan dipakai untuk membayar utang.

7. Strategi Risk-Averse

Risk-averse atau tipikal strategi investasi cari aman meski imbal hasil rendah sedang digandrungi sekarang. Mereka yang punya dolar AS, atau yang berpenghasilanrupiah pun banyak memilih untuk menukarkan dan berinvestasi dalam produk-produk berdenominasi dolar AS.

Ada banyak alasan untuk orang pindah haluan cari aman. Salah satunya, prediksi perfect storm yang akan melanda perekonomian dunia ke depan, mulai tahun 2023. Nouriel Roubini, ekonom populer Amerika Serikat yang terkenal gegara ramalan tepatnya soal kejadian krisis global 2008 memprediksi krisis ke depan akan lebih ngeri, tidak pernah terbayangkan.

Krisis pada 2023 menurut Mr Kiamat, julukan Roubini adalah kombinasi krisis stagflasi-inflasi tinggi ditengah pertumbuhan ekonomi rendah-yang pernah terjadi pada tahun 1980-an dengan krisis utang yang melanda pemerintah, swasta dan rumah tangga pada 2008. Krisis akan sangat dahsyat, katanya.

Tak hanya itu, analisis geopolitik mengungkapkan bila perang Rusia-Ukraina akan berlangsung lama, dan perang nuklir adalah sebuah bencana yang bisa saja terjadi. Kombinasi proyeksi suram ekonomi dan geopolitik membuat banyak orang menahan diri untuk berinvestasi ke aset berisiko tinggi, dan membuat mereka mengalihkan dananya ke dolar AS.

8. Ulah Spekulan

Dalam setiap kesempitan, selalu ada kesempatan. Ini dimainkan oleh sejumlah spekulan di pasar, dan ini legal. Kehadirannya memang membuat tekanan semakin besar terhadap rupiah di saat-saat ada kabar buruk. Diantara alasan spekulan dan juga analisa pedagang, biasanya adalah gap yang masih lebar antara suku bunga pinjaman di RI dengan suku bunga di AS, sehingga dinilai masih ada celah dolar AS akan menguat lagi. Ini membuat spekulan membeli dolar.

Ada juga yang beranggapan dengan menggunakan tren pergerakan nilai tukar dolar AS terhadap Yuan China. Umumnya, para pedagangan pasar mengikuti pergerakan nilai tukar dua raksana dunia itu, dimana bila yuan melemah, maka rupiah juga ikut melemah terhadap dolar. Dengan aksi-aksi ini, tekanan terhadap rupiah meningkat sehingga menimbulkan permintaan dolar AS semakin besar, dan pasokannya berkurang.

Bank Indonesia telah menghabiskan lebih dari US$14 miliar cadangan devisa sepanjang tahun ini-sampai September-untuk membiayai upaya stabilitas rupiah. Diantaranya, selain karena memenuhi kebutuhan nyata seperti impor, juga menjaga rupiah dari ulah-ulah para spekulan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(mum/mum)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Sinyal Lesunya Ekonomi RI, Kredit Perbankan Melambat Lagi