
Duh, Ada Ramalan Buruk Soal Harga Batu Bara, Berani Baca?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara masih betah berkutat di zona merah. Pada perdagangan Selasa (25/10/2022), harga batu bara kontrak November di pasar ICE Newcastle ditutup di US$ 382,9 per ton. Harganya melandai 0,16% dibandingkan perdagangan hari sebelumnya.
Pelemahan harga batu bara kemarin memperpanjang tren negatif pasir hitam yang sudah melemah sejak Jumat pekan lalu. Harga batu bara sudah ambles 3,3% dalam tiga hari terakhir.
Dalam sepekan, harga batu bara juga menyusut 1% secara point to point. Harga batu bara juga masih jeblok 9,5% sebulan tetapi dalam setahun melesat 96,1%.
Pergerakan harga batu bara yang nyaris stagnan kemarin disebabkan oleh dua outlook harga pasir hitam yang saling bertentangan. Dalam jangka pendek, batu bara diperkirakan masih banyak permintaan sehingga harga masih kuat. Sebaliknya, dalam jangka panjang diperkirakan harga akan terus melandai.
Perusahaan riset pasar McCloskey memperkirakan harga batu bara Eropa diperkirakan akan melandai pada tahun depan karena membaiknya pasokan dan melemahnya permintaan.
McCloskey memperkirakan harga batu bara pada 2024 ada di bawah US$ 250 per ton pada 2023 dan di bawah US$ 200 per ton pada 2024.
"Kita lihat batu bara melonjak tinggi sepanjang tahun ini tetapi kondisi ini sepertinya tidak akan terulang," tutur analis McCloskey, Sereena Patel, seperti dikutip dari Montel.
Sebagai catatan, harga batu bara yang dikirim ke pelabuhan barat daya Eropa rata-rata menyentuh US$ 290 per ton pada tahun ini. Harga tertinggi tercatat pada Juni dan Juli yakni US$ 400 per ton.
Patel menjelaskan penurunan batu bara salah satunya disebabkan oleh melandainya konsumsi dari China. Patel menambahkan melemahnya permintaan batu bara China pada tahun ini bisa ditutupi oleh tingginya permintaan dari Eropa sehingga harga komoditas tersebut masih tetap melonjak.
"China telah mengurangi konsumsi batu bara sekitar 55 juta ton pada tahun ini," ujarnya.
Permintaan batu bara Eropa melonjak setelah Benua Biru menghentikan impor batu bara dari Rusia sejak 10 Agustus 2022. Padahal, Eropa mengimpor 60-70% batu bara thermal mereka dari Rusia. Eropa kemudian mencari pemasok baru dari Afrika Selatan, Kolombia, Indonesia, dan Australia yang membuat persaingan pasar sengat ketat.
Impor dari China sendiri menurun sejalan dengan perlambatan ekonomi mereka. Beijing mengimpor batu bara sebanyak 201 juta ton pada Januari-September 2022, turun 12,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu, Fitch Solutions mengatakan tingginya harga gas dunia membuat negara-negara Asia dan Eropa meningkatkan penggunaan batu bara dalam jangka pendek. Kondisi ini ikut mendongkrak harga batu bara tahun ini.
"Pembangkit listrik batu bara menjadi pilihan bagi negara Asia untuk mengamankan pasokan energi hingga 2023. Mereka mengalihkan pembelian dari gas ke batu bara," tulis Fitch, dikutip dari Reuters.
Fitch menjelaskan pertumbuhan produksi listrik batu bara akan jauh lebih tinggi dibandingkan gas pada tahun ini. Karena itulah, harga masih sangat menarik dalam jangka pendek.
"Namun, kami memperkirakan kapasitas pembangkit batu bara akan menurun dalam jangka panjang karena komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca" tutur Fitch.
Fitch memperkirakan produksi listrik dari pembangkit batu bara di Eropa akan turun dari 540 terra watt hour (TWh) pada 2022 menjadi 490 TWh pada 2031 sejalan dengan peningkatan energi hijau.
Komitmen untuk mengurangi penggunaan batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik sudah disampaikan banyak negara, termasuk Indonesia. Pemerintah akan mempercepat pemberhentian atau mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu bara pada 2027 sebesar 9,1 Giga Watt (GW).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Wah! Harga Batu Bara Diprediksi Merosot Awal 2023