Cuma Hang Seng yang Masih Loyo, Bursa Asia Dibuka Sumringah

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
26 October 2022 08:48
People walk by an electronic stock board of a securities firm in Tokyo, Tuesday, Dec. 3, 2019. Asian shares slipped Tuesday, following a drop on Wall Street amid pessimism over U.S.-China trade tensions. (AP Photo/Koji Sasahara)
Foto: Bursa Jepang (Nikkei). (AP Photo/Koji Sasahara)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung cerah pada perdagangan Rabu (26/10/2022), di tengah masih menghijaunya bursa saham Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa kemarin.

Hanya indeks Hang Seng Hong Kong yang dibuka di zona merah pada hari ini, yakni melemah 0,22%.

Sedangkan sisanya dibuka menghijau. Indeks Nikkei 225 Jepang dibuka menguat 0,57%, Shanghai Composite China bertambah 0,23%, Straits Times Singapura melesat 1,05%, ASX 200 Australia terapresiasi 0,58%, dan KOSPI Korea Selatan tumbuh 0,23%.

Dari Australia, inflasi pada kuartal ketiga tahun ini kembali meningkat dan lebih tinggi dari kuartal III-2021.

Biro Statistik Australia (ABS) melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada periode kuartal III-2022 naik menjadi 7,3% secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih tinggi dari kuartal III-2021 yang saat itu sebesar 3,8%.

Sedangkan secara kuartalan (quarter-on-quarter/qoq), CPI Negeri Kanguru masih sama seperti pada kuartal II-2022, yakni tumbuh 1,8%.

"Empat kuartal terakhir telah melihat kenaikan kuartalan yang kuat didukung oleh harga yang lebih tinggi untuk konstruksi tempat tinggal baru, bahan bakar otomotif dan makanan," kata Biro Statistik Australia dalam pernyataannya.

Bursa Asia-Pasifik yang secara mayoritas menguat terjadi di tengah menghijaunya kembali bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan Selasa kemarin, di mana Wall Street sudah menghijau dalam tiga hari beruntun sejak Jumat pekan lalu.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melesat 1,07% ke posisi 31.836,74, S&P 500 melonjak 1,63% ke 3.859,11 dan Nasdaq Composite melejit 2,25% menjadi 11.199,12.

Meski demikian, Wall Street berisiko tertekan pada perdagangan Rabu waktu setempat akibat laporan kinerja keuangan raksasa teknologi Alphabet yang di bawah ekspektasi.

Laporan kinerja keuangan para raksasa teknologi memang sangat dinanti investor, mengingat bobotnya yang cukup besar.

Tidak hanya Alphabet, Microsoft juga melaporkan kinerja keuangan setelah perdagangan berakhir. Hasilnya sama, di bawah ekspektasi. Alhasil, indeks S&P 500, Dow Jones dan Nasdaq futures (berjangka) langsung turun.

Hal ini bisa menjadi sinyal Wall Street akan tertekan.

Dari data ekonomi yang dirilis, indeks keyakinan konsumen menurun pada Oktober setelah mencatat kenaikan 2 bulan beruntun.

Indeks keyakinan konsumen yang dirilis Conference Board tercatat sebesar 102,5, turun tajam dari bulan sebelumnya 107.8.

Dilihat lebih detail, sebanyak 17,5% konsumen yang disurvei mengatakan kondisi bisnis "baik". Persentase tersebut turun dari sebelumnya 20,7%

Selain itu, harga rumah juga mengalami penurunan. The S&P CoreLogic Case-Shiller 20-City House Price Index menunjukkan penurunan sebesar 1,3% pada bulan Agustus, lebih besar dari perkiraan sebesar 0,8%.

Jika penurunan ini terus berlanjut, maka akan menjadi pemberat bagi pertumbuhan ekonomi di 2023 dan kemungkinan akan melandaikan inflasi, menurut Bill Adams, kepala ekonom di Comerica Bank.

Sementara itu, investor di AS akan menanti rilis data pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam pada kuartal III-2022 yang akan dirilis pada Kamis besok.

Berdasarkan hasil polling Reuters, Produk Domestik Bruto (PDB) AS diprediksi akan tumbuh 2% di kuartal III-2022. Artinya, AS akan lepas dari resesi.

Namun, bukan berarti itu adalah titik cerah, sebab ada risiko Negeri Paman Sam akan mengalami double dip recession. Kontraksi PDB dalam 2 kuartal beruntun secara teknis sudah disebut resesi. Namun, resesi di awal tahun ini ringan, bahkan mungkin belum terasa sebab pasar tenaga kerja AS masih sangat kuat, tetapi yang parah akan datang.

Survei terbaru yang dilakukan Wall Street Journal (WSJ) terhadap para ekonom menunjukkan sebanyak 63% memprediksi AS akan mengalami resesi 12 bulan ke depan. Persentase tersebut naik dari survei bulan Juli sebesar 49%.

Double dip recession pernah dialami AS pada 1980an. Resesi pertama terjadi pada kuartal I sampai III-1980, kemudian yang kedua pada kuartal III-1981 dan berlangsung hingga kuartal IV-1982.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular