Bursa Asia Ditutup Mixed, Hang Seng Hingga IHSG Turun Tipis

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
25 October 2022 17:10
People walk past an electronic stock board showing Japan's Nikkei 225 index at a securities firm in Tokyo Wednesday, July 10, 2019. Asian shares were mostly higher Wednesday in cautious trading ahead of closely watched congressional testimony by the U.S. Federal Reserve chairman. (AP Photo/Eugene Hoshiko)
Foto: Bursa Asia (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup cenderung beragam pada perdagangan Selasa (25/10/2022), di tengah berbagai macam sentimen dari kawasan tersebut maupun di global.

Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup melesat 1,02% ke posisi 27.250,279, Straits Times Singapura menguat 0,48% ke 2.984,15, dan ASX 200 Australia terapresiasi 0,28% menjadi 6.798,6.

Sedangkan untuk indeks Hang Seng Hong Kong turun tipis 0,1% ke posisi 15.165,59, Shanghai Composite China turun tipis 0,04% ke 2.976,28, KOSPI Korea Selatan juga turun tipis 0,05% ke 2.235,07, dan Indeks Harga Saham Gabungan terkoreksi tipis 0,07% menjadi 7.048,38.

Saham teknologi China di bursa Amerika Serikat (AS) dan Hong Kong turun tajam setelah adanya kesimpulan dari kongres partai China dan rilis data ekonomi yang tertunda.

Pelaku pasar yang berinvestasi di saham-saham China mungkin bereaksi berlebihan dalam aksi jual mereka menyusul berita bahwa tim kepemimpinan inti Presiden petahana China, Xi Jinping sekarang dipenuhi dengan loyalis.

"Reaksi pasar awal ini, meskipun dapat dimengerti, mungkin salah arah," kata analis Teneo dalam sebuah catatan, dikutip dari CNBC International.

"Meskipun hubungan dekat dengan Xi, seperti Li Qiang, Li Xi, dan Cai Qi, semuanya memasuki [komite tetap Politbiro] setelah memimpin provinsi kaya di mana pertumbuhan ekonomi masih menjadi prioritas utama," tulis catatan tersebut, sembari merujuk pada anggota baru kepemimpinan.

Sementara itu menurut Kepala Eksekutif Hong Kong, John Lee mengatakan pemerintah telah memantau pergerakan pasar dengan cermat untuk "memastikan ketertiban pasar."

"Volatilitas memang masih akan tinggi, tetapi sistem respons kami telah lama teruji beroperasi sepanjang waktu," kata Lee, dilansir dari CNBC International.

"Pemantauan situasi yang kami lakukan menunjukkan bahwa aktivitas pasar tetap berjalan dengan tertib dan lancar," tambahnya.

Sebelumnya, data pertumbuhan ekonomi China pada kuartal III-2022 akhirnya dirilis pada Senin kemarin, setelah ditunda sejak Selasa pekan lalu.

Biro Statistik China (NBS) melaporkan produk domestik bruto (PDB) pada kuartal III-2022 tumbuh 3,9% (year-on-year/yoy). Rilis tersebut lebih tinggi dari hasil survei Reuters terhadap para analis yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 3,4%.

Rilis data pertumbuhan ekonomi China yang lebih bagus tersebut juga menjadi sentimen positif. Setidaknya, kemerosotan ekonomi yang bisa terjadi tidak seburuk perkiraan.

Sementara itu dari Singapura, inflasi pada September 2022 tercatat sebesar 7,5% secara tahunan (year-on-year/yoy). Angka itu sama dengan bulan sebelumnya yang menjadi inflasi tertinggi dalam lebih dari 14 tahun atau November 2008.

Berdasarkan data yang dirilis Statistics Singapore, Selasa hari ini, inflasi tersebut sesuai dengan ekspektasi para ekonom sebesar 7,5% (yoy).

Adapun, secara bulanan (moth-to-month/mtm), inflasi Singapura pada September 2022 tercatat sebesar 0,4%, turun dari bulan sebelumnya yang mencapai 0,9% mtm.

Sementara itu, inflasi inti, yang tidak termasuk harga bergejolak, tercatat sebesar 5,3% yoy pada September 2022. Angka tersebut naik dari 5,1% yoy pada bulan sebelumnya dan juga di atas ekspektasi sebesar 5,2% yoy.

Kenaikan itu dipicu oleh peningkatan harga makanan, jasa dan ritel, serta sejumlah barang lainnya.

"Inflasi inti diproyeksikan akan tetap tinggi dalam beberapa kuartal ke depan sebelum melambat lebih jelas di (paruh kedua) 2023 karena pengetatan saat ini di pasar tenaga kerja domestik mereda dan inflasi global moderat," kata Otoritas Moneter Singapura (MAS) dan Kementerian Perdagangan dan Perindustrian (MTI) dalam rilis media bersama.

Di lain sisi, beberapa bursa Asia-Pasifik juga masih menghijau berkat adanya prediksi bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) bakal memperlambat laju kenaikan suku bunga.

Jika benar terjadi, maka tentunya akan menjadi kabar baik. Resesi memang hampir pasti terjadi, tetapi kemungkinan tidak akan dalam. Tinggal melihat apakah inflasi akan mulai menurun. Masalahnya jika inflasi masih tetap tinggi, maka The Fed bisa jadi akan terus agresif.

Analis dari Moody's Analytics memperkirakan bahwa tekanan inflasi di AS bakal mereda dalam 6 bulan kedepan.

"Inflasi berdasarkan indeks harga konsumen (IHK), akan turun dari level saat ini sekitar 8% menjadi 4%," kata Mark Zandi, kepala ekonom Moody's Analytics dalam acara "Fast Money" CNBC International, Rabu (12/10/2022) lalu.

Selain itu, Zandi percaya kebijakan yang dilakukan The Fed kali ini membawa perekonomian ke jalur yang tepat. Penurunan inflasi nantinya diperkirakan bisa mencegah terjadinya resesi.

Ia juga memprediksi suku bunga The Fed akan mencapai 4,5% - 4,75% di akhir tahun nanti, dan menahannya di level tersebut.

"Mereka akan mempertahankan suku bunga di level tersebut hingga 2024. Tetapi jika saya salah... dan inflasi masih tetap tinggi, mereka akan kembali menaikkan suku bunga dan kita akan masuk ke resesi," ujar Zandi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular