Sentimen Pasar Pekan Depan

Amerika Serikat dan China Sama Nih, Sama "Gelapnya"!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 October 2022 19:45
Demo warga Michigan, Amerika Serikat wujud kekecewaan warga setelah Gubernur Michigan memerintahkan warga tetap di rumah guna mencegah penyebaran virus corona (Covid-19). (AP Photo/Paul Sancya)
Foto: Demo warga Michigan, Amerika Serikat wujud kekecewaan warga setelah Gubernur Michigan memerintahkan warga tetap di rumah guna mencegah penyebaran virus corona (Covid-19). (AP Photo/Paul Sancya)

Bursa saham AS (Wall Street) yang melesat pada perdagangan Jumat (21/10/2022) waktu setempat tentunya membuka peluang penguatan IHSG pada Senin (24/10/2022).

Apalagi penguatan tersebut terjadi setelah Wall Street Journal (WSJ) melaporkan bahwa pejabat The Fed sedang menuju kenaikan suku bunga lain sebesar 75 basis poin (bp) pada November mendatang, beberapa anggota lainnya telah mulai mengisyaratkan keinginan mereka untuk memperlambat laju kenaikan segera.

"Artikel Wall Street Journal yang menyebutkan laju kenaikan suku bunga sedang dipertimbangkan oleh para pelaku pasar," kata Daniel Ghali, ahli strategi komoditas di TD Securities, dikutip dari Reuters.

Presiden The Fed San Francisco, Mary Daly mengatakan bahwa The Fed harus menghindari menempatkan ekonomi AS ke dalam "penurunan paksa" dengan pengetatan yang berlebihan. Ia menambahkan bahwa The Fed mendekati titik di mana laju kenaikan suku bunga harus diperlambat.

Indeks dolar AS merosot 0,77% ke 112,012 pada perdagangan Jumat, yang tentunya membuka peluang penguatan rupiah, begitu juga dengan SBN di awal pekan besok.

Banyak sentimen akan mempengaruhi pasar finansial Indonesia di pekan depan, terutama dari eksternal.

Di awal pekan, rilis data aktivitas sektor manufaktur Eropa bisa menentukan arah pasar. Sebab, jika terjadi kontraksi yang lebih dalam, maka bayang-bayang resesi dunia di 2023 akan kembali menghantui, dampaknya tentu saja negatif.

Masih adari Eropa, bank sentralnya (European Central Bank/ECB) akan mengumumkan kebijakanya, dan suku bunga diperkirakan akan dinaikkan sebesar 75 basis poin menjadi 2%. Lagi-lagi, risiko resesi menghantui.

Kemudian data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) China diperkirakan akan dirilis pada Rabu (26/10/2022) setelah ditundas pekan ini.

Tidak ada penjelasan dari Biro Statistik Nasional China (NBS) kenapa dilakukan penundaan dan sampai kapan. Yang pasti, penundaan tersebut terjadi saat Kongres Partai Komunis China berlangsung.

Penundaan tanpa alasan tersebut membuat investor was-was, sebab perekonomian China sedang diliputi 'kegelapan'.

"Ini (penundaan rilis PDB) akan menyebabkan ketidakpastian dan kehati-hatian investor, sebab tidak ada penjelasan terkait penundaan tersebut," kata Ken Cheung, kepala analis valuta asing di Mizuho Bank, sebagaimana dilansir Japan Times, Senin (17/10/2022).

Perekonomian China diperkirakan akan mencatat kinerja terburuk dalam hampir 5 dekade terakhir. Penyebabnya, datang dari dalam dan luar negeri.

Survei terbaru dari Reuters yang melibatkan 40 ekonom menunjukkan perekonomian China diperkirakan tumbuh 3,2% di 2022, jauh di bawah target pemerintah 5,5%.

Jika tidak memperhitungkan tahun 2020, ketika dunia dilanda pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), maka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tersebut menjadi yang terendah sejak 1976. Pada 2020 lalu, PDB China tumbuh 2,2% saja, tetapi hal yang sama juga melanda dunia.

Pelambatan ekonomi China bisa berdampak buruk bagi Indonesia. Sebab jika dilihat sejak tahun 2000, pergerakan PDB Indonesia cenderung mirip China.

Kemudian dari Amerika Serikat akan merilis data PDB kuartal II-2022. Hasil survei Reuters menunjukkan PDB diperkirakan tumbuh 2,1% setelah mengalami kontraksi dalam dua kuartal beruntun.

Artinya, secara teknis Amerika Serikat akan lepas dari resesi. Tetapi tidak serta merta pasar akan menyambut baik hal tersebut, sebab ada risiko Negeri Paman Sam akan mengalami double dip recession. Resesi di awal tahun ini memang ringan, bahkan mungkin belum terasa sebab pasar tenaga kerja AS masih sangat kuat, tetapi yang parah akan datang.

Survei terbaru yang dilakukan Wall Street Journal terhadap para ekonom menunjukkan sebanyak 63% memprediksi Amerika Serikat akan mengalami resesi 12 bulan ke depan. Persentase tersebut naik dari survei bulan Juli sebesar 49%.

Double dip recession pernah dialami Amerika Serikat (AS) pada 1980an. Resesi pertama terjadi pada kuartal I sampai III-1980, kemudian yang kedua pada kuartal III-1981 dan berlangsung hingga kuartal IV-1982.

Intinya, pekan depan tidak akan berjalan mulus bagi pasar finansial Indonesia, tekanan masih akan besar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular