Akhir Pekan SBN Kembali Dilepas Investor, Yield-nya Melonjak

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Jumat, 21/10/2022 19:28 WIB
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Jumat (21/10/2022), di mana investor di SBN masih menimbang dampak dari kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI).

Secara mayoritas, investor melepas SBN pada hari ini, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield) di hampir seluruh SBN acuan. Hanya SBN tenor panjang yakni 30 tahun yang ramai diburu oleh investor, ditandai dengan turunnya yield.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN berjatuh tempo 30 tahun turun 2,1 basis poin ke posisi 7,412% pada perdagangan akhir pekan ini.


Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara melonjak 14,4 bp menjadi 7,652%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Investor di pasar SBN masih menimbang dampak dari kenaikan suku bunga BI. Kemarin, BI kembali menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bp menjadi 4,75%.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI juga memutuskan untuk menaikkan suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bp menjadi 4,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bp menjadi 5,50%.

Dengan demikian, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 bp pada tahun ini, masing-masing 25 bp pada Agustus, 50 bp pada September, dan 50 bp pada Oktober. Suku bunga acuan dengan cepat naik dari 4,50% pada Juli menjadi 4,75% pada Oktober.

Kenaikan suku bunga acuan sebesar 50 bp juga sejalan dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia.

Dari 13 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, sebanyak lima lembaga/institusi memperkirakan bank sentral akan mengerek BI7DRR sebesar 25 bp menjadi 4,50%, tujuh lembaga/institusi memproyeksi kenaikan BI7DRR sebesar 50 bp menjadi 4,75% sementara satu lembaga memperkirakan kenaikan sebesar 75 bp menjadi 5,00%.

Adapun dampak dari kenaikan suku bunga BI ini adalah melambatnya pertumbuhan kredit di kuartal III-2022.

Hal ini dibuktikan dari Hasil Survei Perbankan Bank Indonesia, di mana nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) kredit baru pada kuartal lalu sebesar 88,1%, turun dari 96,9% di kuartal II-2022.

Berdasarkan survei tersebut, pelambatan pertumbuhan terjadi di semua jenis kredit, yakni kredit modal kerja, kredit investasi dan kredit konsumsi.

Jika BI terus menaikkan suku bunga acuannya, maka suku bunga kredit perbankan akan mengalami kenaikan juga, dan ini bisa menghambat ekspansi dunia usaha hingga konsumsi rumah tangga, sehingga pertumbuhan kredit berisiko makin melambat yang akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu di Amerika Serikat (AS), yield obligasi pemerintah (US Treasury) cenderung kembali beragam pada pagi hari ini waktu AS.

Dilansir dari CNBC International, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun turun tipis 0,1 bp menjadi 4,609%. Sedangkan untuk yield Treasury benchmark tenor 10 tahun masih naik 4,8 bp menjadi 4,274%.

Kekhawatiran pasar tentang resesi telah tumbuh lebih kuat dalam beberapa pekan terakhir, karena data mencerminkan tanda-tanda kontraksi ekonomi, sementara bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terus memberikan nada hawkish.

Berbicara pada diskusi panel para pemimpin bisnis Kamis kemarin, Gubernur The Fed, Lisa Cook mengatakan inflasi masih 'panas' dan The Fed akan terus mengambil langkah-langkah untuk membatasinya "sampai pekerjaan selesai."

Kenaikan suku bunga 75 bp secara luas diperkirakan akan dilaksanakan pada pertemuan The Fed November. Pembicara The Fed bahkan mengatakan kenaikan suku bunga kemungkinan akan berlanjut pada 2023.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Modal Pasar Saham & SBN Tarik Investor Saat Iran-Israel Panas