
Bursa Asia Mayoritas Melemah, Yakin IHSG Masih Kuat

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka di zona merah pada perdagangan Jumat (21/10/2022), menyusul bursa saham Amerika Serikat (AS) yang kembali terkoreksi pada perdagangan Kamis kemarin. Hanya indeks Shanghai Composite China yang dibuka di zona hijau, yakni menguat 0,1%.
Sedangkan sisanya dibuka di zona merah. Indeks Nikkei 225 Jepang dibuka melemah 0,28%, Hang Seng Hong Kong turun tipis 0,08%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,56%, ASX 200 Australia terpangkas 0,68%, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 0,32%.
Dari Jepang, inflasi pada periode September 2022 dilaporkan tidak berubah banyak dari periode Agustus lalu. Berdasarkan data dari pemerintah setempat, inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) atau Indeks Harga Konsumen (IHK) Jepang pada bulan lalu naik 3% (year-on-year/yoy), sama seperti Agustus lalu yang juga naik 3%.
Namun, IHK inti Jepang naik menjadi 3% pada bulan lalu, dari sebelumnya pada Agustus lalu naik 2,8%. Angka ini menjadi yang tertinggi sejak 1991, di luar lonjakan tahun 2014 ketika harga dipengaruhi oleh kenaikan pajak penjualan.
Sedangkan IHK utama secara bulanan (month-to-month/mtm) juga sama seperti pada Agustus lalu, yakni naik 0,3%.
Meskipun inflasi sudah melebihi target 2%, tetapi bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) diprediksi akan tetap dengan kebijakan ultra-longgarnya pada pertemuan minggu depan.
Hal ini memperkuat posisinya yang terisolasi di antara bank sentral global dan mempertahankan tekanan pada yen.
Gubernur BoJ, Haruhiko Kuroda kemungkinan akan terus berargumen bahwa upah perlu ditingkatkan lebih banyak sebelum tujuan inflasi BoJ tercapai.
Kuroda telah berulang kali berargumen bahwa kekuatan kenaikan harga saat ini didasarkan pada faktor pendorong biaya seperti impor energi yang akan hilang di tahun mendatang.
Sementara, energi tetap menjadi kontributor terbesar kenaikan harga dari tahun sebelumnya, kenaikan pada makanan olahan dan barang tahan lama rumah tangga berada di belakang percepatan inflasi lebih lanjut pada September. Ini menunjukkan bahwa inflasi menyebar di luar sektor listrik.
"Pada Oktober, inflasi dapat mencapai 3,3% atau 3,4% karena banyak harga pangan naik, biaya telepon seluler terangkat dan harga layanan meningkat," kata Mari Iwashita, kepala ekonom pasar di Daiwa Securities Co., dikutip dari CNBC International.
Bursa Asia-Pasifik yang secara mayoritas terkoreksi terjadi di tengah melemahnya kembali bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan Kamis kemarin waktu AS, karena naiknya kembali imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,3% ke posisi 30.333,59, S&P 500 merosot 0,8% ke 3.665,78 dan Nasdaq Composite terkoreksi 0,61% menjadi 10.614,84.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) yang kembali naik membuat Wall Street kembali dibuka kurang bergairah.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun naik 6 basis poin (bp) menjadi 4,612%. Sedangkan untuk yield Treasury benchmark tenor 10 tahun terpantau melonjak 10,3 bp menjadi 4,232%.
Yield Treasury tenor 10 tahun menyentuh level tertingginya sejak tahun 2008 silam.
Kenaikan yield Treasury menjadi salah satu alasan mengapa banyak ahli strategi skeptis bahwa pasar dapat mempertahankan reli dalam waktu dekat, meskipun musim rilis kinerja keuangan emiten di AS pada kuartal III-2022 sejauh ini lebih baik dari yang diharapkan.
"Dugaan kami adalah bahwa kinerja keuangan akan cukup baik untuk menjaga pasar dalam kisaran perdagangan, tetapi hal itu tidak cukup untuk mengirimnya kembali ke pertengahan musim panas yang tinggi dan mengingat sifat kebijakan moneter yang tertinggal, kami berpendapat bahwa waktu saat ini tidak tepat bahwa pasar telah pulih," kata Michael Shaoul, analis dari Marketfield Asset Management, dikutip dari CNBC International.
Kenaikan suku bunga telah memukul pasar saham AS sepanjang tahun ini, karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terus mencoba mendinginkan inflasi yang tidak terlihat dalam beberapa dekade.
Para pejabat The Fed kembali menekankan bahwa mereka perlu melanjutkan langkah agresifnya selama inflasi masih panas.
Presiden The Fed Chicago, Charles Evans mengatakan pada Rabu lalu bahwa inflasi masih terlalu tinggi dan bahwa The Fed perlu melanjutkan pendekatan kebijakannya saat ini.
"The Fed perlu meneruskan kebijakannya yang sekarang. Dan bagaimanapun, kenaikan suku bunga lebih jauh akan tetap membebani ekonomi," kata Evans.
Pasar memperkirakan The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan November mendatang.
Mengacu pada FedWatch, sebanyak 95,1% para pelaku pasar memproyeksikan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bp dan membawa tingkat suku bunga Fed ke kisaran 3,75%-4%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi
