
Chatib Basri Tak Kaget Resesi Terjadi, Usul BI Lakukan Ini!

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter menjadi penentu keberlanjutan stabilitas ekonomi ke depan. Oleh karenanya, setiap kebijakan yang akan ditempuh harus diperhitungkan dengan matang.
Ekonom Senior Chatib Basri menjelaskan, situasi ekonomi global yang melambat di Amerika Serikat (AS) akan membuat Bank Sentral AS atau The Fed perlu melanjutkan kenaikan suku bunganya secara agresif.
The Fed, kata Chatib masih akan bertarung menaikkan suku bunga pada pertemuan berikutnya, November dan Desember, masing-masing dengan menaikkan suku bunga 75 basis poin (bps) dan 50 bps.
"Banyak orang berbicara tentang kemungkinan tingkat suku bunga akan mencapai 4,5% pada 2023," jelas Chatib dalam SOE International Conference di BNDCC Nusa Dua, Bali, Selasa (18/10/2022).
Karena situasi tersebut, Mantan Menteri Keuangan RI era SBY itu juga tidak akan terkejut jika ekonomi AS akan masuk ke dalam jurang resesi.
Kendati demikian, Chatib menekankan semua bank sentral harus waspada, karena kebijakan moneter memiliki efek dampak dalam jangka waktu tertentu.
Chatib bilang, dampak dari tingginya suku bunga saat ini, diperkirakan akan berdampak pada 6 bulan dari sekarang. "Jadi, implikasinya adalah kontraksi dari kebijakan moneter global mungkin jauh lebih sulit dari yang kita duga," ujarnya.
Menurut Chatib, BI sebagai otoritas moneter perlu menjaga tidak hanya inflasi, namun juga harus menghitung apa yang akan terjadi di AS.
Paritas atau perbandingan tingkat suku bunga AS dan suku bunga di dalam negeri harus dijaga. Karena saat ini, kata Chatib paritas antara Fed Fund Rate (FFR) dengan BI menjadi salah satu yang terendah dalam sejarah.
"Sehingga bagaimanapun jika kenaikan suku bunga terjadi di AS, BI perlu melakukan pengetatan (tightening)," jelasnya. Meskipun kata Chatib akan berdampak pada nilai tukar.
Seperti diketahui, pelemahan nilai tukar rupiah dari awal tahun hingga saat ini atau year to date telah terdepresiasi 7,8%. Nilai tukar rupiah masih berada di level Rp 15.478 per US$ pada perdagangan Selasa (18/10/2022) pukul 10:04 WIB.
Chatib bilang, pelemahan rupiah saat ini tidak mencerminkan rupiah kalah terhadap dolar, melainkan dolar AS yang sedang dalam posisi menguat.
Prospek ekonomi AS yang lebih baik dibandingkan Eropa, membuat dolar AS relatif kuat terhadap euro atau bahkan poundsterling.
"Ini mungkin pertama kalinya dalam sejarah bahwa dolar AS adalah bagian dari pound sterling dan juga euro, satu dolar AS setara dengan satu pound sterling pada saat ini," kata Chatib.
Selain itu, AS merupakan net eksportir minyak saat ini. Dengan harga energi yang tinggi akan menopang penguatan dolar AS terhadap mata uang utama dunia lainnya. Juga, suku bunga di AS relatif naik lebih dulu dibandingkan banyak negara lainnya.
"Sehingga, akan ada aliran modal masuk untuk membeli US Treasury 10 tahun yang mungkin saat ini menjadi salah satu aset safe haven terbaik. Jadi dengan situasi seperti ini saya tidak akan terkejut bahwa dolar AS yang kuat akan terus berlanjut," jelas Chatib.
Kendati demikian, Chatib meyakini depresiasi rupiah tidak akan separah saat taper tantrum 2013 silam.
Pasalnya, kepemilikan asing di dalam surat berharga negara (SBN) Indonesia sudah jauh berkurang, saat ini di belasan persen dari tahun 2013 yang masih di atas 30%.
"Hal ini memperkecil kemungkinan makin banyak modal asing yang keluar dari pasar keuangan domestik," jelas Chatib.
(cap/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BI Tahan Bunga Acuan 3,5%, Sudah 15 Bulan Beruntun
