FYI! Ekonomi Dunia Saat Ini Lebih Parah Dari 1998

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 October 2022 07:00
[DALAM] Resesi
Foto: Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Resesi dunia terus-menerus menjadi headline pemberitaan di berbagai media internasional. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan mengatakan kondisi saat ini lebih parah dari krisis 1998 jika dilihat dari jumlah pasien Dana Moneter Internasional (IMF).

"Dari pertemuan di Washington DC, 28 negara sudah antre di markasnya IMF menjadi pasien," papar Jokowi, Selasa (11/10/2022).

Jumlah negara yang meminta bantuan finansial ke IMF tersebut memang jauh lebih banyak ketimbang 1998. Maklum saja, krisis 1998 menimpa beberapa negara Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Saat itu, yang menjadi pasien IMF selain Indonesia, ada Thailand dan Korea Selatan.

28 negara yang dikatakan Jokowi menjadi pasien IMF tentunya sulit diketahui. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan dari 28 negara tersebut, sebanyak 14 sudah masuk dan sisanya masih proses.

"Tadi pak Presiden menyampaikan IMF ada 28 negara yang meminta bantuan IMF dan 14 sudah masuk dan 14 dalam proses," ungkap Airlangga saat menyampaikan arahan Jokowi dalam konferensi pers, Selasa (11/10/2022).

"Ini magnitudenya lebih besar dari krisis di 1998. Dimana krisis di 98 itu krisis beberapa negara di ASEAN," jelasnya.

Meski sulit diketahui negara mana saja yang menjadi pasien Dana Moneter Internasional tersebut, tetapi Reuters pada Juli lalu merangkum beberapa negara yang memiliki risiko kebangkrutan dan krisis yang besar. Beberapa negara sudah mendapat bantuan dari IMF, yang lainnya masih dalam tahap negosiasi.

Lebanon sudah resmi mengalami kebangkrutan. September lalu dikabarkan sudah setuju melakukan 10 poin reformasi guna mendapat bantuan dari IMF senilai US$ 3 miliar.

Sri Lanka juga sedang bernegosiasi dengan IMF mengenai dana bailout senilai US$ 2,9 miliar, yang diperkirakan akan cari Desember mendatang. Sri Lanka juga sudah resmi mengalami kebangkrutan

Argentina kembali menjadi pasien IMF awal tahun ini, untuk menggantikan program yang gagal pada 2018. IMF menyetujui review kedua dari program fasilitas pembiayaan tambahan senilai US$44 miliar, tanpa meminta syarat pencairan apapun.

IMF juga sudah menyetujui pencairan senilai US$3.8 miliar, sehingga menambah total pinjaman sekitar US$17.5 miliar dari plafon.

Tunisia mengalami krisis finansial terburuk akibat pandemi Covid-19 kemudian perang Rusia-Ukraina. Fitch Rating memprediksi Tunisia akan mengalami defisit transaksi berjalan hingga 8,4% dari produk domestik bruto (PDB) di tahun ini, lebih tinggi dari 2021 sebesar 6,3%.

Tunisia juga sedang bernegosiasi dengan IMF untuk mendapatkan pinjaman senilai US$ 2 miliar - US$ 4 miliar untuk menghindari kebangkrutan.

"Besarnya pinjaman masih dalam negosiasi dan saya rasa di kisaran US$ 2 miliar sampai US$ 4 miliar, kami berharap akan mencapai kesepakatan dalam beberapa pekan ke depan," kata gubernur bank sentral Tunisia, Marouane Abassi kepada Reuters pertengahan September lalu.

Ghana memiliki rasio utang terhadap PDB yang sangat tinggi, sekitar 85%. Hal ini diperburuk dengan jeblonya nilai tukar mata uang cedi sebesar 41% sepanjang tahun ini, dan inflasi pun meroket hingga 33,9% year-on-year (yoy) pada Agutustus lalu.

Pemerintah Ghana pun saat ini tengah berunding dengan IMF agar mendapat paket batuan untuk men-support perekonomian.

Mesir dilanda capital outflow yang hingga US$ 20 miliar di tahun ini, berdasarkan estimasi JPMorgan. Rasio utang juga mencapai 95% dair PDB, FIM Partners memperkirakan Mesir harus membayar utang dalam bentuk hard currency senilai US$ 100 milar dalam 5 tahun ke depan, termasuk US$ 3,3 miiliar dalam bentuk obligasi di 2024.

Pada Maret lalu, Mesir sudah mengajukan pinjaman baru, tetapi pada Juli lalu IMF mengatakan negara tersebut perlu membuat "kemajuan yang menentukan" dalam reformasi fiskal dan struktural.

Goldman Sachs memperkirakan Mesir perlu mendapat paket pinjaman senilai US$ 15 miliar dalam 3 tahun ke depan untuk pendanaan negara, tetapi pemerintahnya dilaporkan mengajukan angka yang lebih kecil.

Kenya harus membayar bunga pinjaman senilai 30% dari total pendapatannya. Kemudian nilai obligasinya anjlok hingga lebih dari 50%, dan jatuh tempo senilia US$ 2 miliar di 2024.

Rasio utang Kenya mencapai 70% dari PDB, dan juga mengajukan pinjaman lagi kepada IMF. Pada Juli lalu IMF sudah mencairkan pinjaman senilai US$ 235.6 juta.

Selain negara-negara tersebut, dalam masih ada Etiopia, El Savador, Pakistan, Belarusia dan Nigeria yang masuk dalam rangkuman Reuters yang berada dalam risiko kebangkrutan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ada Yang Lebih Ngeri dari Resesi

Resesi sudah hampir pasti terjadi, tetapi ada yang lebih parah yakni stagflasi.

Tidak seperti resesi yang sering terjadi, stagflasi cukup langka.Istilah stagflasi pertama kali muncul pada 1970an di Amerika Serikat (AS), dan belum lagi pernah terjadi. Saat ini pun baru sebatas risiko stagflasi.

Saat stagflasi terjadi pada 1973 dan 1974, bursa saham AS (Wall Street) rontok, indeks S&P 500 merosot 17,4% dan hampir 30% di tahun tersebut.

Jika ini kembali terjadi, maka ada risiko Wall Street kembali merosot, dan bisa menyeret bursa saham dunia lainnya, termasik Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Stagflasi merupakan periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Sementara resesi merupakan kontraksi pertumbuhan ekonomi setidaknya dalam dua kuartal beruntun.

Efek keduanya sama-sama buruk bagi perekonomian maupun masyarakat, tetapi stagflasi bisa lebih parah.

Ketika inflasi tinggi dan produk domestik bruto (PDB) melambat atau stagnan, maka perlahan-lahan kondisi ekonomi akan semakin memburuk atau 'mati pelan-pelan'.

Saat kondisi perekonomian memburuk, pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi secara masif, dan tingkat pengangguran akan meroket. Inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi bisa menjadi ciri khas dari stagflasi. Sebab, keduanya biasanya berkebalikan.

Stagflasi lebih sulit 'disembuhkan' ketimbang resesi. Sebab, para pembuat kebijakan harus bisa menyeimbangkan antara inflasi dan pasar tenaga kerja. Ketika inflasi tinggi maka suku bunga akan dikerek naik, tetapi risikonya pasar tenaga akan melemah dan tingkat pengangguran meningkat.

Sebaliknya, saat tingkat pengangguran tinggi yang dibutuhkan adalah suku bunga rendah, tetapi risikonya inflasi akan meningkat.

Masyarakat akan merasakan dampak yang sangat berat. Tingkat pengangguran yang tinggi membuat pendapatan rendah, tetapi harga barang-barang sangat mahal yang tercermin dari inflasi yang tinggi.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular