Jakarta, CNBC Indonesia - Risiko inflasi di Amerika Serikat (AS) dikhawatirkan memiliki dampak berkelanjutan bagi ekonomi global, termasuk di Indonesia.
Dengan masih tingginya inflasi di AS, maka potensi Negeri Paman Sam terkena resesi makin membesar dan hal ini juga bisa mempengaruhi perekonomian nasional, karena Negeri Pam Sam merupakan mitra dagang utama Indonesia.
Ekonom Senior sekaligus Menteri Keuangan RI periode 2013-2014, Chatib Basri mengungkapkan bahwa probabilitas ekonomi AS mengalami resesi tidak bisa dihindarkan, seiring adanya kekhawatiran lonjakan inflasi yang terjadi di sepanjang tahun.
Chatib juga mengatakan bahwa untuk endinginkan atau meredam gejolak inflasi, AS perlu mengalami resesi. Hal ini sekaligus merujuk dari pernyataan Mantan Menteri Keuangan AS, Larry Summers dalam sebuah diskusi publik beberapa waktu silam.
Alasannya yakni lapangan kerja di AS terus bertumbuh dan tingkat pengangguran cenderung menurun. Chatib mengungkapkan, di AS memiliki tingkat pengangguran alamiah atau natural sebesar 5%. Atau istilah tingkat pengangguran alamiah ini dikenal sebagai the natural rate of unemployment (Nairu).
Nairu adalah tingkat pengangguran terendah yang dapat dipertahankan tanpa menyebabkan pertumbuhan upah dan inflasi meningkat.
Dengan kata lain, jika pengangguran berada pada tingkat alami, maka inflasi adalah konstan. Nairu sering mewakili kesimbangan antara keadaan ekonomi dan pasar tenaga kerja.
"Jadi, tidak mungkin orang menganggur sama sekali tidak mungkin. Ada orang yang berhenti di tempat kerja sebelumnya, dan menunggu kerja di tempat kerja baru," jelas Chatib kepada CNBC Indonesia, Rabu (6/10/2022) lalu.
"Waktu di survey dia ditanya, kamu nganggur gak? Iya, tapi sebetulnya dia menunggu untuk mendapatkan pekerjaan baru. Ada yang orang memilih untuk stay di rumah dulu, itu naturalnya di AS 5%," kata Chatib lagi.
Laporan employment rate (pertumbuhan lapangan kerja) pada Agustus 2022 tercatat sebanyak 3,7%, naik dari bulan sebelumnya sebesar 3,5%.
Berdasarkan data dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS, tingkat pengangguran tersebut menjadi yang tertinggi sejak Februari lalu dan di atas ekspektasi sebesar 3,5%.
Jumlah pengangguran naik 244.000 menjadi 6,014 juta orang. Sementara itu, tingkat penyerapan tenaga kerja naik 422.000 menjadi 158,732 juta.
"Nah kalau penganggurannya di bawah 5%, inflasi pasti naik," jelas Chatib.
Sebagai respons atas kenaikan laju inflasi, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali selama 2022, yakni Mei 0,5%, serta Juni dan Juli masing-masing 0,75%, serta Agustus 0,75%.
Suku bunga acuan (Fed Funds Rate/FFR) saat ini di kisaran 3%-3,25%. Laju inflasi tahunan AS sudah meningkat lebih dari 2% sejak April 2021 dan terus meningkat hingga 9,06% pada Juni 2022. Laju inflasi Juni merupakan yang tertinggi sejak 1981. Namun pada September 2022, inflasi AS turun hingga 8,3%.
Melihat data inflasi di AS tersebut, Chatib bahkan memperkirakan The Fed saat ini tidak memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga.
"Dia akan masih menaikan 50 hingga 75 basis poin. Bahkan saya tidak akan surprise kalau di akhir tahun itu bisa ke arah pada kisaran 3,1% hingga 3,5%. Bayangkan, kalau itu terjadi, implikasinya US akan masuk resesi," jelas Chatib.
Kenaikan suku bunga AS sangat berisiko bagi Indonesia, terutama pada sektor-sektor yang sensitif terhadap perubahan suku bunga. Chatib menyebut, kenaikan suku bunga berdampak terhadap private sector/perusahaan, maupun ke konsumen.
Mereka harus membayar bunga lebih tinggi, ketika membutuhkan investasi atau membeli barang yang berasal dari utang. Karena penurunan investasi dan belanja, pertumbuhan ekonomi bisa melambat, bahkan mengalami kontraksi lebih lanjut.
Ekonomi global yang melambat, berdampak terhadap menurunnya permintaan komoditas energi. Sementara pangsa ekspor Indonesia 60% bersumber dari komoditas energi seperti nikel, CPO, batu bara, dan sebagainya.
"Ekonomi Indonesia pasti akan kena. Jadi itu yang disebut sebagai trade channel," jelas Chatib.
Kendati demikian, Chatib berpandangan meskipun ekspor Indonesia akan terkena dampaknya, namun secara keseluruhan tidak akan membuat ekonomi Indonesia terkena resesi.
Hal itu lantaran, porsi ekspor Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi hanya menyumbang 25%, kecil dibandingkan dengan Singapura yang memiliki share ekspor terhadap pertumbuhan ekonominya mencapai 200%. Sehingga ekonomi Indonesia hanya akan mengalami perlambatan.
"Ini gara-gara share ekspor ke GDP cuma 25%, ya efeknya 25%. Itu yang menyebabkan dampaknya slow down, tapi tidak resesi. Makanya somehow, kita butuh domestic demand kalau ekonomi global kena," jelas Chatib.
Perekonomian Indonesia terbilang beruntung karena "diselamatkan" oleh sebuah kegagalan. Kecilnya kontribusi ekspor ke pertumbuhan ekonomi serta terbatasnya peran RI dalam perdagangan global membuat Zamrud Khatulistiwa mendapatkan efek terbatas dari gejolak eksternal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor berkontribusi sebesar 23,2% kepada Produk Domestik Bruto (PBD) nasional pada kuartal II-2022.
Secara keseluruhan, kontribusi ekspor kepada PDB nasional pada 2021 mencapai 21,56%. Kontribusi tersebut meningkat dibandingkan pada periode pra-pandemi 2017-2019 di mana share ekspor ke pertumbuhan hanya 19%.
Kendati meningkat pada tahun ini, kontribusi ekspor ke pertumbuhan tetap lebih kecil dibandingkan konsumsi rumah tangga atau investasi. Peran konsumsi rumah tangga kepada pembentukan PDB nasional rata-rata mencapai 56% sementara investasi ada di kisaran 27-30%.
Dengan peran ekspor yang terbatas ke pertumbuhan maka ekonomi Indonesia tidak akan terlalu terguncang dengan naik turunnya ekspor. Kondisi ini berbanding terbalik dengan konsumsi rumah
tangga. Pada periode kuartal II-2020 hingga kuartal I-2021, ekonomi Indonesia masuk ke jurang resesi karena konsumsi rumah tangga terkontraksi.
Chatib Basri pun menjelaskan peran ekspor yang rendah ke pertumbuhan tidak bisa dilepaskan dari kurang kompetitifnya produk ekspor barang dan jasa Indonesia.
Sebagai catatan, lebih dari 50% ekspor Indonesia masih dalam bentuk komoditas. Sekitar 30% ekspor Indonesia bahkan ditopang oleh dua komoditas penting yakni minyak sawit dan batu bara. Indonesia juga bukan Singapura yang menyediakan banyak jasa untuk aktivitas ekspor.
Berdasarkan data Bank Dunia, nilai ekspor barang dan jasa Indonesia setara dengan 21,6% dari PDB sementara Singapura menembus 185% dari PDB.
"Kita sebetulnya pengen kayak Singapura, ekspor kompetitif, tapi kita gak terlalu kompetitif, sekali ini kita beruntung karena gak kompetitif. Kalau kita kompetitif, itu dampak dari globalnya lebih dalam," tutur Chatib, kepada CNBC Indonesia.
Mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tersebut menjelaskan Indonesia sudah beberapa kali "diselamatkan" oleh terbatasnya peran ekspor ke pertumbuhan.
"Pada 2008 kenapa (Indonesia) gak kena terlalu dalam waktu global financial crisis, pressure ekspor terhadap GDP-nya itu juga relatif kecil," imbuhnya.
Sebagai catatan, krisis finansial pada 2008 menyeret perekonomian Amerika Serikat ke jurang resesi. Perekonomian global juga terimbas parah karena krisis keuangan menyebar ke jalur perdagangan.
Perdagangan global hanya tumbuh 2% pada 2008, turun jauh dibandingkan pada 2007 yang tumbuh 6%. Namun, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 6% atau turun tipis dibandingkan 2007 yang tercatat 6,3%.
"Kita pengen ekspor kompetitif, kita mau ekspor kita mendunia, gak dapet-dapet, coba bayangin kalau ekspor mendunia, begitu global kolaps, kena kita kayak Singapura," tegas Chatib.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, jika AS benar-benar terkena resesi, maka perekonomian Indonesia cenderung hanya melambat, tidak hingga ikutan resesi.
Meski begitu, ada beberapa barang ekspor yang kemungkinan tetap terdampak dari resesi AS. Seperti komoditas, di mana sektor ini merupakan pangsa terbesar ekspor RI, yakni 60%. Adapun barang komoditas tersebut yakni nikel, batu bara, CPO, dan sebagainya.
Namun produk komoditas baru terlihat mengalami kenaikan pada periode 2021. Sedangkan pada tahun 2020 cenderung tidak terlihat
Berikut rincian produk RI terbesar yang diekspor ke AS pada tahun 2020 dan 2021, berdasarkan data dari BPS.
Kelompok Barang Ekspor | Berat (kg, 2020) | Nilai (US$, 2020) | Berat (kg, 2021) | Nilai (US$, 2021) | Perubahan Berat (%) | Perubahan Nilai (%) |
Invertebrata | 119.935.645 | 1.036.445.639 | 128.462.418 | 1.150.469.402 | 7,11% | 11,00% |
Tekstil (Pakaian Jadi) | 75.706.600 | 1.230.509.860 | 89.275.442 | 1.917.556.713 | 17,92% | 55,83% |
Alas Kaki | 64.249.361 | 1.383.595.063 | 102.633.955 | 2.116.000.054 | 59,74% | 52,93% |
Furniture | 308.321.409 | 1.252.964.300 | 379.939.760 | 1.746.783.768 | 23,23% | 39,41% |
Lemak dan Minyak Nabati | 1.225.390.978 | 877.752.684 | 1.775.985.859 | 2.031.697.914 | 44,93% | 131,47% |
Karet dan sejenisnya | 449.683.159 | 606.641.191 | 547.712.561 | 942.818.572 | 21,80% | 55,42% |
Karet untuk roda | 206.157.960 | 625.123.105 | 253.818.989 | 838.279.281 | 23,12% | 34,10% |
Selain komoditas, barang-barang yang akan terdampak dari resesi AS adalah tekstil, di mana produk tekstil RI menjadi salah satu produk terbesar yang di ekspor ke AS.
Pada tahun 2021, produk tekstil RI yang di ekspor ke AS mengalami kenaikan hingga lebih dari 50% dari tahun 2020, baik dari beratnya maupun nilai ekspornya.
Kemudian ada komoditas lemak dan minyak nabati yang nilai ekspornya mengalami kenaikan signifikan yakni lebih dari 100% dari tahun 2020 ke tahun 2021.
Selanjutnya ada kelompok barang otomotif yang juga berpotensi terpengaruh akibat resesi AS, sebab, sebagian besar pasar otomotif adalah ke luar negeri.
Terakhir ada kelompok barang invertebrata air yang juga menjadi kelompok barang yang rentan terhadap resesi AS, di mana jumlah dan nilai kelompok ini terbilang cukup besar yakni mencapai 120 ton dan nilainya berkisar Rp 1 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA