IHSG Sesi I Menghijau! Kembali Ke Level 7.100

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
Rabu, 05/10/2022 11:48 WIB
Foto: Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat pada penutupan perdagangan sesi I Rabu (5/10/2022). Indeks Acuan Tanah Air dibuka menguat 0,37% di posisi 7.098,43 dan ditutup di zona hijau dengan apresiasi 0,71% atau 50,2 poin.

Sejak perdagangan dibuka, IHSG sudah bergerak di zona hijau dan langsung melewat menembus level 7.100 dengan apresiasi 0,62% di 7.116,28. Pukul 09:55 WIB indeks terpantau masih menghijau dengan penguatan 0,57% ke 7.112,76.  Level tertinggi berada di 7.131,88 sekitar pukul 10:20 WIB, sementara level terendah berada di 7.086,94 sesaat setelah perdagangan dibuka.

Mayoritas saham siang ini terpantau mengalami kenaikan. Namun, nilai perdagangan tercatat turun ke Rp 7,18 triliun dengan melibatkan lebih dari 16 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 826 kali.


Saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya siang ini, yakni mencapai Rp 652,9 miliar. Sedangkan saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 399,6 miliar dan saham PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) di posisi ketiga sebesar Rp 309,2 miliar.

Menguatnya IHSG tak lepas dari sentimen positif dari bursa saham Amerika Serikat (AS) yang kompak ditutup melesat pada perdagangan semalam. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) sukses reli tajam 2,8% ke 30.316,32. Serupa, indeks S&P 500 ditutup melesat 3,1% ke 3.790,93 dan Nasdaq Composite naik tajam 3,3% ke 11.176,41.

Dengan begitu, di sepanjang pekan ini indeks S&P 500 telah membukukan kenaikan 5,7% dan menjadi kenaikan terbesar selama dua hari beruntun sejak Maret 2020.

"Setelah ambles lebih dari 9% di sepanjang September 2022 dan anjlok hampir 25% di sepanjang tahun ini, kita menilai indeks S&P 500 telahoversold," tutur Ketua Investasi UBS Global Wealth Mark Haefele dikutip CNBC International.

Penurunan imbal hasil atau yield obligasi pemerintah AS menjadi salah satu katalis positif untuk harga saham di AS. Yield US Treasury 10 tahun terpantau turun ke bawah 3,7% setelah sempat mendekati level psikologis 4%.

Namun di sisi lain yield US Treasury 2 tahun yang menjadi acuan untuk tenor pendek masih berada di atas 4% merespons Fed yang berniat mengerek suku bunga acuan naik sampai 4,4% hingga akhir tahun ini.

"Orang-orang suka menunggu kabar baik tapi...kita tidak akan memiliki pemulihan di pasar ini sampai Fed memberi sinyal bahwa mereka akan berhenti menaikkan suku bunga dan itu tidak akan terjadi sampai inflasi mulai turun," tutur Analis Neuberger Berman newman Kroft.

Relinya bursa Wall Street, tentunya menjadi sinyal positif bagi pasar saham Asia dan Indonesia karena bursa saham Paman Sam tersebut menjadi kiblat pasar saham dunia. Jika Wall Street meroket, ada potensi IHSG ikut melesat.

IHSG juga sudah tertekan cukup signifikan setelah menyentuh all time high dan sempat diterpa oleh aksi profit taking terutama dari investor asing.

Dengan sentimen di Wall Street yang membaik ada harapan IHSG bisa tetap hijau hingga akhir perdagangan dan investor asing kembali memborong saham-saham domestik.

Kendati demikian, rilis data ekonomi tersebut diawasi ketat oleh Fed karena pasar tenaga kerja yang ketat diprediksikan menjadi pendorong utama inflasi sulit melandai.

Sebagai informasi, gap dari angka lowongan pekerjaan dengan angka pengangguran di AS pada Juli lalu sangat besar hingga membuat para pelaku bisnis untuk turut menaikkan upah dan bonus, sehingga masyarakat AS tetap konsumtif, di tengah inflasi yang melonjak.

Hal tersebut membuat angka inflasi sulit untuk turun ke target Fed di 2%. Padahal, di sepanjang tahun ini saja, Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 300 basis poin (bps) untuk memperlambat daya konsumsi masyarakat.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aum)