September Rupiah Melemah 2,6%, Oktober Bisa Lebih Parah?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
02 October 2022 15:45
Petugas menhitung uang asing di penukaran uang DolarAsia, Blok M, Jakarta, Senin, (26/9/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Petugas menghitung uang asing di penukaran uang DolarAsia, Blok M, Jakarta, Senin, (26/9/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah semakin memburuk pasca pengetatan kebijakan moneter secara agresif oleh The Fed. Sepanjang bulan September rupiah mencatat kinerja bulanan terburuk dalam 2,5 tahun terakhir.

Melansir data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan bulan September atau kuartal III di Rp 15.225/US$, melemah 2,6% dalam sebulan. Pelemahan ini menjadi yang terbesar sejak Maret 2020 yang mana rupiah anjlok hingga 13,7% saat awal pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Tekanan paling besar datang dari bank sentral AS yang tidak henti-hentinya menaikkan suku bunga secara agresif dalam beberapa pertemuan beruntun. Hal ini menyebabkan likuiditas dolar di pasar berkurang signifikan dan membuat indeks dolar yang mengukur kinerjanya atas 6 mata uang utama dunia melesat tajam.

Sebelumnya pasar sempat optimis bahwa The Fed akan berhenti bersikap hawkish, namun kondisi inflasi yang masih panas dan urung turun secepat yang diharapkan membuat The Fed terpaksa tanpa cap atas kebijakan moneternya.

Alhasil, proyeksi analis juga ramai-ramai melesat. Pada survei Reuters awal Juni lalu, mayoritas dari 28 analis memprediksi rupiah akan berakhir di bawah level Rp 15.000/US$ pada akhir September, dengan angka rata-rata berada di Rp 14.774/US$ dan median Rp 14.600. Bahkan yang paling pesimis sekalipun menempatkan nilai tukar rupiah di Rp 15.211/US$, masih lebih kecil dari pelemahan aktual akhir kuartal III ini.

Saat ini suku bunga acuan The Fed berada di rentang 3% - 3,25%, setelah kenaikan 75 basis poin bulan lalu dan menegaskan sikap agresifnya.

Bank Indonesia pun langsung bertindak cepat dan menaikkan suku bunga 50 bps, lebih tinggi dari konsensus analis yang disurvei CNBC Indonesia. Saat ini suku bunga acuan BI berada di angka 4,25%.

Kenaikan agresif oleh BI terjadi salah satunya dilakukan untuk menjaga nilai tukar rupiah, selain juga untuk mengontrol inflasi yang sudah naik signifikan, namun masih di bawah level darurat yang terjadi di negara-negara maju.

Kenaikan ini merupakan yang kedua secara beruntun dan lebih agresif dilakukan oleh BI, dari semula sebesar 25 bps pada bulan Agustus.

Selain dari kebijakan moneter BI sejatinya juga melakukan beragam intervensi, salah satunya pembelian SBN di pasar sekunder. Akan tetapi tingkat efektivitas upaya triple intervention tersebut tampaknya makin berkurang dan tidak bisa lagi menjadi buffer tunggal untuk menahan pelemahan rupiah.

Selanjutnya tingginya harga komoditas yang sempat membuat RI perkasa melawan dolar tanpa perlu dukungan kebijakan moneter BI, juga efeknya akan berkurang. Hal ini karena rezeki nonplok (windfall) tersebut perlahan mulai berkurang, dengan harga sejumlah komoditas unggulan RI mulai susut perlahan.

Penurunan paling tajam terjadi pada harga CPO yang pada kuartal ketiga tahun ini terpangkas nyaris sepertiga akibat lemahnya permintaan global.

Surplus dari ekspor komoditas tersebut sebelumnya mampu menyangga rupiah karena membantu transaksi berjalan (current account) surplus. Hal ini mengakibatkan pasokan valuta asing mengalir ke dalam negeri, yang membuat rupiah lebih stabil.

Kemudian kaburnya dana asing dari pasar domestik ikut memperburuk kinerja rupiah. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), sepanjang tahun ini hingga 26 September terjadi capital outflow di pasar SBB hingga Rp 150 triliun. Alhasil, kepemilikan SBN oleh investor asing kini kurang dari 15%.

Kepemilikan asing yang semakin menciut setidaknya dapat memberikan secercah harapan baru bagi rupiah, mengingat risiko terjadi capital outflow kemungkinan tidak akan besar lagi, sehingga stabilitas rupiah lebih terjaga.

Akan tetapi tantangan terbesar rupiah saat ini masih akan datang dari faktor eksternal utama yakni penguatan indeks dolar yang tampaknya tidak akan langsung turun signifikan, setidaknya tidak dalam waktu dekat. Hal ini karena The Fed yang masih bersikap hawkish dan diperkirakan siap untuk kembali menaikkan suku bunga secara agresif.

Pekan ini, Presiden The Fed Cleveland, Loretta Mester mengatakan kepada bahwa dia tidak melihat alasan untuk memperlambat kenaikan suku bunga.

Ketua The Fed juga sebelumnya telah memberikan sinyal bahwa resesi dapat dianggap menjadi jalan lebih baik dari pada inflasi tinggi yang tiada henti.

Hal ini juga sejalan dengan pandangan pada analis dan ekonom. Sebanyak 59 dari 83 ekonom yang disurvei Reuters memperkirakan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin pada November. Kemudian, di Desember, The Fed diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 50 basis poin menjadi 4,25% - 4,5%.

Tanpa intervensi signifikan dari BI dan perubahan mendadak 180 derajat arah kebijakan dari The Fed, rupiah tampaknya masih cenderung berat untuk kembali menguat ke bawah level Rp 15.000/US$.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bank Indonesia: Rupiah Berpotensi Besar Masih Melemah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular