
Akhir Pekan Bursa Asia Gak Kompak! Nikkei Ambruk Nyaris 2%

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup bervariasi pada perdagangan Jumat (30/9/2022), di tengah koreksinya kembali bursa saham global karena investor masih khawatir dengan potensi resesi global.
Indeks Hang Seng Hong Kong ditutup menguat 0,33% ke posisi 17.222,83, Straits Times Singapura bertambah 0,49% ke 3.130,24, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir naik tipis 0,07% menjadi 7.040,798.
Sementara untuk indeks Nikkei 225 Jepang ditutup ambruk 1,83% ke posisi 25.937,21, Shanghai Composite China melemah 0,55% ke 3.024,39, ASX 200 Australia ambles 1,23% ke 6.474,2, dan KOSPI Korea Selatan merosot 0,71% menjadi 2.155,49.
Dari China, data aktivitas manufaktur pada periode September 2022 dilaporkan tumbuh. Data yang tergambarkan pada Purchasing Manager's Index (PMI) versi NBS tercatat tumbuh menjadi 50,1, dari sebelumnya di angka 49,4 pada Agustus lalu. Angka ini lebih baik dari prediksi pasar dalam polling Reuters yang memperkirakan kenaikan 49,6.
Hal ini menjadikan data manufaktur China versi NBS berada di zona ekspansif, setelah selama dua bulan berada di zona kontraksi.
Namun dari versi Caixin, PMI manufaktur China pada September turun menjadi 48,1, dari sebelumnya pada bulan lalu di angka 49,5. Angka versi Caixin masih berada di zona kontraksi.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.
"Kondisi permintaan yang lemah dan persyaratan produksi yang lebih rendah membuat perusahaan mengurangi aktivitas pembelian mereka di bulan September, dengan tingkat penurunan tercepat dalam empat bulan," kata siaran pers Caixin.
Pasar saham global kembali terkoreksi karena kekhawatiran pelaku pasar bahwa resesi tidak akan menghentikan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga.
Hal ini sejalan dengan survei yang dilakukan Reuters, di mana The Fed akan semakin agresif menaikkan suku bunga, dan 'penderitaan' yang lebih besar akan datang.
Sebanyak 59 dari 83 ekonom yang disurvei Reuters memperkirakan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin pada November. Kemudian, di Desember, The Fed diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 50 basis poin menjadi 4,25-4,5%.
Jika sesuai prediksi, maka suku bunga The Fed akan berada di level tertinggi sejak awal 2008, atau sebelum krisis finansial global.
Sebelum terkoreksi lagi, bursa saham global sempat rebound setelah adanya kabar baik yang datang dari Inggris, di mana bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) berencana untuk membeli obligasinya untuk menenangkan kekacauan pasar dan menstabilkan kembali poundsterling.
Kendati demikian, nyatanya poundsterling kembali melemah 1% terhadap dolar AS ke posisi GBP 1,078/US$. Poundsterling menjadi salah satu mata uang yang terdampak dari perkasanya dolar AS.
BoE kembali melakukan quantitative easing (QE), dan dikonfirmasi nilainya sebesar GBP 65 miliar. Pasar awalnya menyambut baik keputusan tersebut, QE memang bisa mengerek kenaikan bursa saham.
Tetapi, kini pasar menjadi bingung, sebab kebijakan tersebut tentunya berbalik dengan langkah BoE menaikkan suku bunga dengan agresif guna meredam inflasi.
"Kami skeptis bahwa suasana pasar yang lebih tenang pada hari Rabu menandai berakhirnya periode baru-baru ini dari peningkatan volatilitas atau sentimen risk-off. Untuk reli yang lebih berkelanjutan, investor perlu melihat bukti yang meyakinkan bahwa inflasi terkendali, memungkinkan bank sentral menjadi kurang hawkish," tulis Mark Haefele dari UBS dalam catatan hari Kamis yang dikutip CNBC International.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi
