
Petaka Dunia Makin Nyata! Krisis di Inggris Seperti 2008

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis ekonomi di negeri monarki Inggris makin nyata dan mendalam. Mulai dari masalah perdagangan, krisis energi, inflasi meroket dan kemiskinan yang merajalela. Ini membuat sejumlah ekonom memvonis kerajaan 'King Charles III' kini sudah turun tahta dari negara maju menjadi negara berkembang, ya, sekelas dengan Indonesia.
Menurut hitungan S&P Global Ratings, Inggris saat ini sudah masuk resesi setahun penuh. Dalam laporan yang diterbitkan Selasa kemarin, S&P memprediksi bank sentral Inggris, (Bank of England/BoE) akan menaikkan tingkat suku bunga dari saat ini 2.25% menjadi 3.25% pada Februari 2023, sebagai upaya untuk memperbaiki situasi dan menurunkan tingkat inflasi ke level 2%.
Krisis Inggris bukan semata dipicu oleh kebijakan kontroversial Perdana Menteri (PM) Liz Truss yang menakuti pasar dengan paket stimulus ekonomi pemotongan pajak senilai US$48 miliar, tanpa pengurangan belanja negara. Mayoritas ekonom sepakat bila persoalan Inggris lebih struktural, serius dan jauh lebih dalam dari sekadar yang tampak seperti inflasi tinggi dan pound sterling jeblok. Semuanya dipicu oleh tindakan PM Boris Johnson yang menarik keluar Inggris dari keanggotaan Uni Eropa pada 1 Januari 2020.
Inilah beberapa indikasi yang menunjukkan krisis di Inggris mirip dengan tsunami finansial yang pernah terjadi di Amerika Serikat pada 2008, yang kemudian menjadi krisis ekonomi domestik hingga global.
Kesengsaraan Dimana-mana
Mengutip The Guardian, banyak anak-anak sekolah di Inggris kelaparan dan bahkan mengunyah karet karena keluarga mereka tak mampu menyediakan makan siang. Studi Money Advice Trust, memuat hampir 20% orang dewasa Inggris menunggak tagihan. Ini naik 3 juta, sekitar 45%, sejak perhitungan terakhir di Maret. Bukan hanya itu, berdasarkan opinium survei, terdapat 5,6 juta warga rela tak makan dalam tiga bulan terakhir sebagai akibat dari krisis. Jejak pendapat dilakukan ke 2.000 orang dewasa Inggris di Agustus.
Sementara itu, kenaikan biaya hidup juga membuat ramai wanita di Inggris memilih bekerja sebagai pekerja seks komersil. Ini terjadi sejak awal Juni. Mengutip data English Collective of Prostitution, jumlah perempuan yang masuk dalam bisnis prostitusi meningkat 1/3 angka biasanya. Itu karena biaya hidup yang tinggi.
Peristiwa-peristiwa di AS menjelang ledakan krisis adalah banyak orang hidup dalam tenda-tenda darurat dimana mana, di trotoar, lapangan, taman-taman. Warga AS tidak hanya jatuh miskin tak bisa makan, tetapi juga menjadi gelandangan akibat tak kuat membayar cicilan kredit kepemilikan rumah yang naik akibat suku bunga bank meroket.
Properti yang Problematik
Saat ini bank-bank KPR di Inggris kebingungan untuk memberikan kredit, akibat fluktuasi kurs dan krisis likuiditas di pasar uang. Mereka kesulitan menentukan berapa seharusnya tingkat suku bunga yang wajar. Beberapa bank, bahkan sudah mirip dengan bank di AS kala 2008 dulu, yaitu menghentikan kredit baru dan bahkan menaikkan cicilan KPR yang dipastikan akan berdampak pada jutaan debitur. Orang-orang juga sulit memiliki rumah karena suku bunga KPR naik hampir tiga kali lipat menjadi 6%, sinyal jika pasar properti Inggris tak lama lagi akan kolaps.
Pemicu krisis AS adalah subprime mortgage, yaitu skandal pemberian KPR pada orang yang tidak tepat. Krisis meledak ketika bank sentral AS (The Federal Reserve/Fed) beralih dari stance suku bunga rendah ke tinggi. Ujungnya, KPR macet dimana-mana dan menyapu bersih tidak hanya bank bank pemberi kredit tetapi juga entitas pembeli produk investasi beragunan aset KPR yang bermasalah, seperti dana pensiun, asuransi, bank hingga kejadian meluluhlantakan bisnis shadow banking di sana dan dunia.
Kisruh Pasar Obligasi
Pound sterling dan obligasi pemerintah Inggris atau gilt telah rontok akibat pengumuman kebijakan PM Truss lima hari setelah dipilih. Untuk meredamnya, BoE mengatakan akan melakukan pembelian obligasi dari pasar hingga 65 miliar pound (US$71 miliar) sampai dengan 14 Oktober mendatang untuk menstabilkan pasar. BoE bahkan bilang akan memborong berapapun gilt di pasar yang diperlukan untuk membendung sell-off gilt pasca pengumuman stimulus PM Truss.
Istilah kata, "lu jual gue beli" oleh BoE ini bukannya tidak beralasan. Bank sentral Inggris berupaya meredam ketakutan investor gilt, khususnya tenor jangka panjang yang banyak dipegang oleh dana pensiun. Ini karena penurunan tajam Pound sterling ke level 1.0793 per dolar AS atau terendah sejak 1985 ini mengakibatkan harga obligasi terjun bebas. Gilt benchmark tenor 20 tahun misalnya, sebelum BoE intervensi, terpuruk dengan yield meroket nyaris 5%, tertinggi sejak krisis global 2008.
Bila krisis AS 2008 mempopulerkan asset back securities, maka di Inggris saat ini terjadi krisis likuiditas akibat skema investasi Liability Driven Investment. Nilainya mencapai 1,5 triliun pound sterling, di mana 1 triliun diantaranya telah diinvestasikan dalam gilt dan obligasi lainnya. Jadi, dana pensiun di sana membeli gilt untuk kemudian direpokan (gadaikan), dimana hasil uangnya kembali dibelikan gilt, begitu seterusnya. Maka ketika harga gilt turun, para pe-repo ini kelimpungan untuk bisa menjaga margin call kepemilikan barang, dan di sisi lain mereka tak punya dana untuk membayar pensiunan.
Sinyal Petaka Finansial
Bank of England sudah mengingatkan bahwa kebijakan pemerintah Inggris telah menakut-nakuti investor. Bank sentral bahkan menekankan runtuhnya kepercayaan dalam ekonomi bisa menimbulkan "risiko material bagi stabilitas keuangan Inggris,". Sementara Dana Moneter Internasional sudah mendesak negara anggota G-7 lainnya untuk mendorong PM Truss meninggalkan rencana paket stimulus pajak dan justru mencari pinjaman untuk menutupi biaya belanja.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mum/mum)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Buntut Krisis, Bank Sentral Inggris Tutup Unit Bisnis SVB
