Sekarang Cash is King, Saatnya Jual Saham Masuk Deposito?

Riset, CNBC Indonesia
29 September 2022 08:05
Warga mengantre untuk menukarkan uang Rupiah kertas baru Tahun Emisi (TE) 2022 di Pasar Tebet Barat, Jakarta Selatan, Rabu (24/8/2022). Pemerintah melalui Bank Indonesia secara resmi mengeluarkan tujuh uang kertas baru tahun emisi 2022. Uang kertas baru ini terdiri dari pecahan Rp 100.000, Rp 50.000, Rp 20.000, Rp 10.000, Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Warga mengantre untuk menukarkan uang Rupiah kertas baru Tahun Emisi (TE) 2022 di Pasar Tebet Barat, Jakarta Selatan, Rabu (24/8/2022). Pemerintah melalui Bank Indonesia secara resmi mengeluarkan tujuh uang kertas baru tahun emisi 2022. Uang kertas baru ini terdiri dari pecahan Rp 100.000, Rp 50.000, Rp 20.000, Rp 10.000, Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Belum lama ini Bank Indonesia (BI) menyebut bahwa kita akan memasuki periode di mana 'cash is king'.

Deputi Gubernur BI Aida S Budiman menjelaskan, dari pengamatan BI, pertumbuhan ekonomi dunia akan semakin menurun di tahun depan, terutama berasal dari negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan negara berkembang seperti China.

Inflasi di negara berkembang atau emerging market saat ini sudah di atas 10%, sementara negara maju yang selama ini mengalami inflasi 0% sekarang sudah di atas 8%. Hal ini terjadi tak luput karena masih berlangsungnya tensi geopolitik Rusia dan Ukraina.

Untuk menahan laju inflasi tersebut, banyak negara terutama di negara Pam Sam, melakukan normalisasi kebijakan. BI memperkirakan Bank Sentral AS masih akan meningkatkan suku bunga acuan atau fed fund rate hingga 2023.

"Kita kenal istilah higher for longer yang menimbulkan ketidakpastian global dan pasar keuangan, diikuti Eropa. Sehingga mata uang dolar AS mengalami peningkatan tertinggi dalam sejarahnya dan mengalami tekanan cash is the king," jelas Aida.

Sepanjang tahun ini indeks dollar AS telah menguat lebih dari 10% akibat Fed yang sudah menaikkan suku bunga acuannya secara kumulatif sebesar 300 basis poin (bps). Alhasil, indeks S&P 500 yang menjadi acuan saham pun anjlok lebih dari 20% dan memasuki fase bear market.

Memang jika dibandingkan dengan negara lain nilai tukar rupiah mengalami depresiasi terhadap dollar AS yang relatif minim. Namun tetap saja rupiah telah terdepresiasi lebih dari 7% dan tembus Rp 15.000/US$.

Namun, menariknya IHSG masih menghasilkan return 7,53% sepanjang tahun ini. IHSG ditutup di 7.077 kemarin yang mengimplikasikan valuasi Price to Earnings Ratio (PER) 15,5x.

Jika dilakukan inversi rasio PER, maka akan didapatkan earnings yield dari IHSG sebesar 6,47%. Sebagai aset berisiko, sebenarnya seberapa menarik valuasi IHSG terhadap aset likuid lain seperti obligasi pemerintah maupun cash yaitu deposito rupiah?

Hingga sejauh ini, earnings yield IHSG masih di atas obligasi pemerintah 1 tahun yang berada di kisaran 4,6% maupun suku bunga deposito perbankan baik big bank maupun bank digital yang memberikan imbal hasil sebelum pajak di kisaran 2,5-5,1%.

Deposito BCA

1.90%

Deposito BRI

2.75%

Deposito Mandiri

2.50%

Deposito BNI

2.50%

Rata-rata KBMI IV

2.41%

Bank Panin

2.75%

Bank Danamon

2.50%

Bank CIMB Niaga

3.00%

Bank Permata

2.75%

Bank OCBC NISP

2.25%

Bank BTN

2.75%

Bank Mega

4.25%

Rata-rata KBMI III

2.89%

Bank Jago

3.75%

Sea Bank

7.00%

Allo Bank

4.50%

Rata-rata Digital Bank

5.08%

Obligasi Pemerintah 1 Tahun

4.66%

Earnings Yield IHSG

6.47%

Hal tersebut mengindikasikan saham masih lebih menarik dibandingkan dengan cash maupun aset safe haven lain seperti obligasi pemerintah.

Namun yang patut diwaspadai adalah kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) akan berdampak pada penurunan valuasi perusahaan dan kenaikan suku bunga deposito maupun yield obligasi pemerintah.

Dengan risiko tersebut, diversifikasi ke deposito masih dapat digunakan untuk hedging portofolio investasi dari tren penurunan harga aset yang terjadi sekarang ini.

Nyatanya, tren cash is king juga dilakukan oleh investor global. Mengacu pada poling yang dihimpun oleh Reuters, kebanyakan investor masih menempatkan dananya di saham dengan porsi 51,47% per Juni 2022. Angka tersebut meningkat dari posisi Januari 2022 yang hanya 50,10%.

Sementara itu, di tengah risiko inflasi dan suku bunga tinggi, investor melepas kepemilikan obligasi tercermin dari porsi alokasi yang hanya 36,5% pada Juni 2022. Padahal di awal tahun porsi alokasinya mencapai 39,3% dari total dana kelolaan.

Aset

Jan-22

Jun-22

Saham

50.10%

51.47%

Obligasi

39.32%

36.47%

Alternatif (Komoditas)

5.73%

5.87%

Cash

3.58%

5.16%

Property

1.27%

1.03%

Total

100.00%

100.00%

Menariknya, di tengah tren koreksi harga aset global, investor justru lebih banyak memegang kas alias uang tunai. Porsi kas di bulan Juni 2022 mencapai 5% padahal di awal tahun hanya 3,6%. Kenaikan porsi kas menunjukkan bahwa investor cenderung bermain aman atau lebih defensif.


(trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular