Asal Muasal Anjloknya Rupiah, Simak Penjelasan Bos BI!

MAIKEL JEFRIANDO, CNBC Indonesia
27 September 2022 10:05
Gedung BI
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah tak kuasa menahan keperkasaan dolar Amerika Serikat (AS). Laju pelemahan rupiah terus berlanjut hingga awal pekan ini, dolar AS menyentuh level Rp 15.100.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo memaparkan situasi rupiah bukan dikarenakan faktor dalam negeri. Akan tetapi eksternal, yang secara spesifik adalah perubahan kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (the Fed).

"Kondisi ini dipengaruhi perkiraan bahwa kenaikan suku bunga AS dilakukan lebih besar untuk meredam risiko inflasi di sana," kata Dody kepada CNBC Indonesia, Selasa (27/9/2022).

The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps). Kini suku bunga acuan AS yaitu Federal Fund Rates (FFR) berada di 3,25%.

Namun yang mengejutkan adalah proyeksi dan arah suku bunga ke depan yang dirilis oleh Komite Pengambil Kebijakan (FOMC). Dalam proyeksinya, FFR bisa sampai 4,4% akhir tahun ini.

Apabila menganut proyeksi tersebut berarti dalam dua pertemuan terakhir, Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuan di bawah 50 bps.

Bahkan ketika pelaku pasar memperkirakan Fed akan memangkas suku bunga acuan tahun depan, proyeksi FOMC justru sebaliknya. Tahun depan mereka masih berpotensi kembali menaikkan suku bunga acuan.

Hal ini yang kemudian mendorong penguatan dolar AS menjadi perkasa terhadap mata uang lain. Indeks dolar AS pada perdagangan Senin lalu meroket hingga ke 114,1, menjadi yang tertinggi sejak Mei 2002. Pekan lalu, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini melesat 3,12%.

"Dalam jangka pendek sentimen global meningkatkan volatilitas pasar keuangan," jelasnya.

Dody meyakini situasi ini bersifat sementara. Rupiah masih berpotensi menguat seiring dengan kondisi fundamental perekonomian yang membaik. Antara lain pemulihan ekonomi yang terus berlanjut dan diperkirakan tumbuh di atas 5% pada 2022. Inflasi relatif terkendali dibandingkan negara lain meskipun ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Perekonomian Indonesia juga ditopang oleh neraca perdagangan yang masih surplus serta cadangan devisa yang mencapai US$ 132,2 miliar pada akhir Agustus.

BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps menjadi 4,25% pada beberapa hari lalu. Tujuannya untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

"Indonesia dengan prospek ekonomi yg tumbuh lebih tinggi didukung kredibilitas serta konsistensi kebijakan tetap menarik bagi investor baik untuk investasi langsung maupun investasi dalam bentuk surat-surat berharga," paparnya.

Pelemahan rupiah memang besar, tetapi bukan yang terburuk di Asia. Hingga sore kemarin, baht Thailand dan won Korea Selatan menjadi yang terburuk dengan pelemahan 0,67%.

BI akan selalu berada di pasar memantau perkembangan pasokan valuta asing (valas). Sederet kebijakan cepat siap dilakukan apabila dibutuhkan.

"BI terus mengoptimalkan kalibrasi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan memperkuat strategi triple intervention di pasar valas. Keseimbangan pasokan dan permintaan valas akan terus dijaga tentunya juga didukung kinerja ekspor yang baik sehingga menambah pasokan devisa," pungkasnya.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat potensi penguatan lebih besar ke depannya, dengan perkiraan Rp 14.800 - 14.900 per dolar AS. Situasi sekarang, menurutnya hanya bersifat sementara.

"Pelemahan mata uang Asia termasuk Rupiah saat ini cenderung terbatas dan temporary mengingat pelaku pasar akan tetap mencermati perkembangan inflasi AS terbaru yang dirilis pada pertengahan Oktober dimana diperkirakan akan cenderung melandai mempertimbangkan harga minyak mentah global yang saat ini juga dalam tren penurunan," papar Josua.

Apalagi dari sisi fundamental perekonomian, Josua menilai Indonesia masih sangat baik dibandingkan dengan negara lain. BI diperkirakan juga akan terus menaikkan suku bunga acuan menjadi 5-5,25% hingga akhir tahun untuk menjaga stabilitas nilai tukar.

"Mempertimbangkan REER Rupiah yang masih <100 mengindikasikan bahwa nilai tukar rupiah saat ini belum menggambarkan kondisi fundamental sepenuhnya, atau dengan perkataan lain pelemahan rupiah saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor sentimen. Sehingga mempertimbangkan faktor fundamental dari rupiah, maka rupiah berpotensi menguat dari level saat ini," pungkasnya.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular