
The Fed Bakal Lebih 'Galak', Bursa Asia Ambruk Berjamaah!

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup kembali berjatuhan pada perdagangan Senin (26/9/2022) awal pekan ini, karena investor makin khawatir dengan potensi resesi global yang semakin membesar.
Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup ambruk 2,66% ke posisi 26.431,55, Hang Seng Hong Kong melemah 0,44% ke 17.855,14, Shanghai Composite China ambles 1,2% ke 3.051,23, Straits Times Singapura ambrol 1,4% ke 3.181,97, ASX 200 Australia tergelincir 1,6% ke 6.469,4, KOSPI Korea Selatan anjlok 3,02% ke 2.220,94, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,71% menjadi 7.127,5.
Dari Jepang, data awal dari aktivitas manufaktur pada periode September 2022 telah dirilis di mana data yang digambarkan pada Purchasing Manager's Index (PMI) versi Jibun Bank tersebut dilaporkan turun menjadi 51, dari sebelumnya pada Agustus lalu di angka 51,5.
Meski menurun, tetapi PMI manufaktur awal Jepang pada bulan ini masih berada di zona ekspansif. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.
Hal ini karena produksi yang sulit dan pesanan baru secara keseluruhan, yang keduanya berkontraksi untuk bulan ketiga berturut-turut. Pesanan baru menyusut pada tingkat tercepat dalam dua tahun terakhir.
"Pertumbuhan secara keseluruhan tetap tenang karena tekanan inflasi dan memburuknya pertumbuhan ekonomi global membebani aktivitas di sektor manufaktur dan jasa," kata Joe Hayes, ekonom senior di S&P Global Market Intelligence, yang menyusun survei tersebut, dikutip dari Reuters.
Kekhawatiran investor akan potensi resesi global membuat bursa Asia-Pasifik kembali berjatuhan pada hari ini.
Hal ini terjadi setelah bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga sekaligus menekankan bahwa kenaikan suku bunga berpotensi akan berlanjut hingga tahun depan.
The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bp) pada Kamis pekan lalu. Kini, suku bunga acuan AS yaitu Federal Fund Rates (FFR) berada di 3-3,25%.
Otoritas moneter AS tersebut terhitung telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 5 kali. Pertama dilakukan pada Maret 2022 sebesar 25 bp. Selanjutnya di bulan Mei sebesar 50 bp.
Kemudian di bulan Juni, Juli dan terakhir September, The Fed menaikkan masing-masing 75 bp. Pelaku pasar tidak hanya menyorot soal kenaikan suku bunga acuan di bulan September karena memang sudah diantisipasi.
Namun yang mengejutkan adalah proyeksi dan arah suku bunga ke depan yang dirilis oleh Komite Pengambil Kebijakan (FOMC). Dalam proyeksinya, FFR bisa sampai 4,4% akhir tahun ini.
Apabila menganut proyeksi tersebut berarti dalam dua pertemuan terakhir, Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuan di bawah 50 bp.
Bahkan ketika pelaku pasar memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga acuan tahun depan, proyeksi FOMC justru sebaliknya. Tahun depan mereka masih berpotensi kembali menaikkan suku bunga acuan.
Proyeksi tersebut yang akhirnya membuat pasar keuangan global kembali dilanda dengan koreksi dalam beberapa hari terakhir.
Di lain sisi, depresiasi parah dari mata uang Inggris yakni poundsterling juga membuat pelaku pasar semakin khawatir.
Nilai tukar poundsterling Inggris ambruk ke rekor terlemah sepanjang sejarah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (26/9/2022). Poundsterling mulai merosot sejak Jumat pekan lalu setelah pemerintah baru Inggris mengumumkan reformasi ekonomi.
Melansir data Refintiv, poundsterling siang ini ambruk hingga 4,37% ke US$ 1,0382/GBP. Rekor terlemah poundsterling sebelumnya berada di US$ 1,0520/GBP yang tercatat pada 26 Februari 1985. Di saat yang sama poundsterling diperdagangkan di kisaran Rp 15.609/GBP, terlemah sejak Oktober 2016.
Tak hanya poundsterling saja, mata uang di kawasan Asia-Pasifik juga kompak melemah. Hal ini karena dolar AS yang sangat perkasa dalam beberapa hari terakhir, membuat banyak mata uang pun tak kuat melawan sang greenback.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi
