Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menyentuh posisi all time highnya di 7.377,49 pada Kamis (15/9). Namun, IHSG masih drop 1,02% di sepanjang pekan ini. Lantas bagaimana dengan kondisi pasar pekan depan?
Tim Riset CNBCÂ Indonesia telah merangkum sentimen-sentimen yang bisa dicermati investor pekan depan.
Pertemuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed)
Semua mata tertuju pada pertemuan The Fed yang dijadwalkan akan digelar pada 21-22 September 2022 untuk mendiskusikan kebijakan moneter terbarunya.
Jika mengacu pada alat ukur FedWatch, pasar memprediksikan peluang sebanyak 80% bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bps) menjadi 3%-3,25%. Sementara sisanya memproyeksikan The Fed akan lebih agresif lagi dengan menaikkan suku bunga sebesar 100 bps menjadi 3,25%-3,5%.
Hal tersebut terjadi setelah rilis Indeks Harga Konsumen (IHK) AS per Agustus 2022 berada di 8,3% secara tahunan (yoy). Meskipun melandai dari bulan sebelumnya di 8,5%, tapi posisi tersebut masih berada di atas prediksi analis. Data inflasi tersebut menunjukkan bahwa inflasi masih tinggi dan meningkatkan potensi bahwa The Fed akan kembali agresif.
Sejatinya, kenaikan suku bunga berkorelasi negatif terhadap aset berisiko seperti saham. Saat suku bunga meningkat, bunga kredit pun turut naik dan akan membebani ekspansi korporasi dan konsumsi rumah tangga. Sehingga, pertumbuhan ekonomi pun akan melambat dan akhirnya para pelaku pasar akan menghindari aset berisiko dan beralih pada aset yang mempunyai nilai lindung.
Tidak hanya itu, kenaikan suku bunga oleh The Fed tentunya akan mendorong peningkatan permintaan akan dolar AS dan membuatnya semakin perkasa di pasar spot. Alhasil, dolar AS akan menekan mata uang dunia lainnya, tak terkecuali rupiah.
Bahkan, analis Goldman Sachs Group memprediksikan bahwa The Fed akan terus menaikkan suku bunga acuannya dan membawa tingkat suku bunga menjadi 4%-4,25% pada akhir tahun ini. Mereka juga memproyeksikan tingkat pengangguran di AS akan naik menjadi 3,7% pada akhir 2022.
Analis Global S&P juga menyerukan hal yang serupa.
"Sikap agresif The Fed diperkirakan akan berlanjut dengan penetapan harga pasar dalam kenaikan 75 bp ketiga berturut-turut, meskipun kenaikan 100 poin juga ada di meja. Suku bunga diperkirakan akan mencapai 4,25 persen pada akhir 2022," kata Intelijen Pasar Global S&P dikutip Reuters.
Dari dalam negeri, investor juga akan disibukkan dengan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang akan digelar pada 21-22 September 2022. Konsensus analis Trading Economics memprediksikan bahwa BI akan mengekor The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps, melanjutkan pengetatan kebijakan moneternya dari bulan sebelumnya.
Seperti diketahui, pada 23 Agustus 2022, BI sempat memberikan kejutan dengan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps menjadi 3,75%, ketika pasar bertaruh bahwa BI akan tetap menahan suku bunga acuannya. Kenaikan tersebut menjadi yang pertama kalinya sejak 18 bulan lalu.
Dalam konferensi persnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa kenaikan tersebut menjadi langkah preemptive dan forward looking untuk menjangkar ekspektasi inflasi inti akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan volatile food. Selain itu, keputusan ini dilakukan dalam rangka memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai fundamental dengan tingginya ketidakpastian global yang semakin kuat.
Padahal, inflasi RI per Agustus 2022 mengalami deflasi sebesar 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Jika dibandingkan dengan Agustus 2021, inflasi berada di 4,69%, melandai dibandingkan bulan sebelumnya di 4,94%. Meski begitu, Perry Warjiyo menilai bahwa inflasi tersebut masih cukup tinggi.
"Inflasi 4,69%, masih tinggi," ungkapnya dalam rapat koordinasi pusat dan daerah pengendalian inflasi 2022, Rabu (14/9/2022).
Tingginya inflasi dikarenakan kenaikan harga komoditas pangan yang sulit diredam. Hingga Agustus, inflasi pangan mencapai 8,93%. "Harga pangan bergejolak harus turun ke level 5-6%," jelasnya.
Ditambah lagi, pada awal bulan ini, pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM jenis Petralite, Solar dan Pertamax, yang tentunya dapat mendorong inflasi ke depannya.
Bahkan, DBS Group Research, dalam risetnya yang dikutip CNBC Indonesia, Jumat (9/9/2022), memperkirakan inflasi utama pada akhir 2022 mengarah ke angka 6,5-7% secara tahunan dan menaikkan rata-rata setahun penuh ke 5,0%. Sementara 2023 menjadi 3,8%.
Tidak hanya itu, ekonom Bank Mandiri Faisal Rahman menyatakan kenaikan harga BBM, baik Solar, Pertalite dan Pertamax, berisiko dapat memangkas pertumbuhan ekonomi sampai dengan 0,33 ppt.
Faisal menjelaskan naiknya inflasi akibat kenaikan harga ketiga jenis BBM ini tentunya dapat mengurangi daya beli masyarakat, terlebih konsumsi BBM jenis Pertalite merupakan yang terbesar dalam konsumsi bensin secara total di Indonesia.
"Hal ini akan berisiko mengurangi pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang diharapkan menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 ini," ungkapnya.
Kendati melambat, Faisal menuturkan Bank Mandiri melihat pertumbuhan ekonomi akan tetap di kisaran 5% secara full-year pada tahun 2022 ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA