Euro Ngegas! Eropa Batal 'Kiamat' Mata Uang?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 September 2022 08:35
FILE PHOTO: The German Central Bank (Bundesbank) presents the new 50 euro banknote at its headquarters in Frankfurt, Germany, March 16, 2017.     REUTERS/Kai Pfaffenbach/File Photo
Foto: REUTERS/Kai Pfaffenbach/File Photo

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar euro terus menguat semenjak bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) menaikkan suku bunga pada pekan lalu. Euro yang sebelumnya jeblok ke bawah level paritas melawan dolar Amerika Serikat (AS).

Pada perdagangan Senin (5/9/2022), euro sempat menyentuh US$ 0,9862, melansir data Refinitiv. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak Desember 2002.Sepanjang tahun ini euro sudah jeblok sekitar 13% melawan dolar Amerika Serikat (AS).

Mata uang euro secara resmi mulai digunakan dalam bentuk giral pada 1 Januari 1999. Sejak peluncurannya tersebut, nilai euro menurun dan menyentuh level terlemah US$ 0,8225 pada 26 Oktober 2000. Namun,sejak awal 2003, euro sebenarnya tidak pernah berada di bawah level paritas (EUR 1 = US$ 1).

Artinya mata uang 19 negara ini semakin dekat dengan rekor terlemah sepanjang sejarah.

Namun, euro berbalik menguat setelah ECB menaikkan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin pada Kamis (8/9/2022). Main refinancing rate naik menjadi 1,25%, menjadi yang tertinggi sejak 2011, kemudian deposit facility naik menjadi 0,75% dan lending facility 1,5%.

Tidak hanya itu, EBC di bawah pimpinan Christine Lagarde juga akan terus menaikkan suku bunga guna meredam inflasi. Alhasil kurs euro terus menanjak hingga menyentuh US$ 1,0197 pada Selasa lalu.

Kenaikan euro tentunya bisa meredakan tekanan inflasi. Tetapi sayangnya euro kembali jeblok pada perdagangan Rabu kemarin akibat bank sentral AS (The Fed) diprediksi semakin agresif menaikkan suku bunga akibat inflasi yang masih tinggi.

Kurs euro jeblok hingga 1,47% ke US$ 0,9970 kemarin.

Departemen Tenaga Kerja AS kemarin melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) Agustus sebesar 8,3% year-on-year (yoy). Dengan demikian, inflasi di Amerika Serikat sudah menurun dalam 2 bulan beruntun.

Dengan inflasi yang masih tinggi, The Fed hampir pasti akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin, bahkan tidak menutup kemungkinan sebesar 100 basis poin. Hal ini terlihat dari perangkat FedWatch milik CME Group, di mana pasar melihat probabilitas sebesar 67% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin, dan probabilitas sebesar 33% untuk kenaikan 100 basis poin.

Alhasil, dolar AS kembali perkasa, dan euro berisiko terpuruk lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Saat Dolar AS Perkasa & Euro Melemah, Rupiah Gimana?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular