Bursa China dan Korea Libur, Bursa Asia Ditutup Menghijau

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
12 September 2022 17:32
A man in a business building is reflected on an electronic stock quotation board outside a brokerage in Tokyo, Japan, October 11, 2018.  REUTERS/Kim Kyung-Hoon
Foto: Ilustrasi Bursa Tokyo (REUTERS/Kim Kyung-Hoon)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup cerah pada perdagangan Senin (12/9/2022) awal pekan ini, meski pasar di kawasan tersebut cenderung sepi karena bursa saham China dan Korea Selatan tidak dibuka.

Indeks Nikkei Jepang memimpin penguatan bursa Asia-Pasifik pada hari ini, yakni melonjak 1,16% ke posisi 28.542,11. Sedangkan sisanya juga ditutup menghijau.

ASX 200 Australia ditutup melesat 1,02% ke posisi 6.964,5, Straits Times Singapura menguat 0,36% ke 3.274,72, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir naik 0,16% menjadi 7.254,46.

Sementara untuk indeks Hang Seng Hong Kong, Shanghai Composite China, dan KOSPI Korea Selatan pada hari ini tidak dibuka karena sedang libur memperingati Hari Festival Musim Gugur di China dan Hari Festival Bulan Purnama di Korea Selatan.

Bursa Asia-Pasifik yang cerah menyusul hijaunya bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street pada perdagangan akhir pekan lalu, didorong oleh kinerja keuangan emiten.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melesat 1,19%, S&P 500 melonjak 1,53%, dan Nasdaq Composite melejit 2,11%.

Meski pelaku pasar cenderung optimis, tetapi pasar saham global masih dibayangi oleh potensi kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sebesar 75 basis poin (bp), setelah Ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan bahwa ia dan rekan-rekannya berkomitmen untuk meredam inflasi.

"Menurut saya, orang-orang terlalu meremehkan apa yang harus dilakukan The Fed untuk melawan inflasi," tutur Direktur Utama di Richard Bernstein Advisors, Richard Bernstein dikutip CNBC International.

The Fed juga berencana mempercepat pengurangan neraca pada bulan ini. Tindakan ini dikhawatirkan dapat membebani ekonomi dan membuat tahun ini lebih brutal untuk saham dan obligasi.

Setelah meningkatkan neraca menjadi US$ 9 triliun setelah pandemi, The Fed mulai menurunkan beberapa Treasuries dan sekuritas berbasis hipotek yang dimilikinya pada Juni dengan kecepatan US$ 47,5 miliar. Telah diumumkan bahwa bulan ini mereka meningkatkan laju pengetatan kuantitatif menjadi US$ 95 miliar.

Skala pelonggaran The Fed belum pernah terjadi sebelumnya dan efek dari bank sentral yang mengakhiri perannya sebagai pembeli Treasuries yang konsisten dan tidak sensitif terhadap harga sejauh ini sulit untuk ditentukan dengan tepat dalam harga aset.

Selain itu, pasar akan merespons mengenai berakhirnya era suku bunga rendah untuk melawan inflasi yang kian panas. Tak hanya The Fed saja yang makin bersikap hawkish, tetapi bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) juga bersikap demikian. 

ECB berencana menaikkan suku bunga acuan 2% untuk dua tahun ke depan. Rencana ini muncul setelah adanya peningkatan risiko ekonomi. Ini adalah aksi dalam memerangi rekor inflasi yang mencapai 9,1% meskipun kemungkinan resesi.

ECB menaikkan suku bunga deposito dari nol menjadi 0,75% pada hari Kamis dan Presiden ECB, Christine Lagarde mengarahkan untuk dua atau tiga kenaikan lagi, mengatakan suku bunga masih jauh dari tingkat yang akan membawa inflasi kembali ke 2%.

Seorang narasumber mengatakan kepada Reuters, bahwa kemungkinan besar akan terjadi jika proyeksi inflasi ECB hingga 2025 masih di atas 2%. ECB saat ini melihat inflasi mencapai 2,3% pada 2024.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa Asia Menghijau, Semoga IHSG Ikutan Ya!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular