
Bursa Asia Menghijau, Semoga IHSG Ikutan Ya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung menguat pada perdagangan Senin (12/9/2022), di tengah membaiknya sentimen pasar pada hari ini.
Indeks Nikkei Jepang dibuka melesat 0,97%, ASX 200 Australia menguat 0,6%, dan Straits Times Singapura terapresiasi 0,4%.
Sementara untuk indeks Hang Seng Hong Kong, Shanghai Composite China, dan KOSPI Korea Selatan pada hari ini tidak dibuka karena sedang libur.
Bursa Asia-Pasifik yang cenderung menguat terjadi di tengah cerahnya bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street pada perdagangan akhir pekan lalu, didorong oleh kinerja keuangan emiten.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melesat 1,19% ke posisi 32.151,71, S&P 500 melonjak 1,53% ke 4.067,36, dan Nasdaq Composite melejit 2,11% menjadi 12.112,31.
Saham DocuSign melesat lebih dari 10% tepat setelah mereka melaporkan kinerja keuangan yang melampaui ekspektasi pasar. Emiten tersebut juga mengumumkan proyeksi pendapatan untuk kuartal III-2022 yang di atas prakiraan pasar.
Kenaikan tersebut mengirim ketiga indeks utama Wall Street keluar dari koreksinya selama tiga pekan beruntun. Di sepanjang pekan lalu, indeks Dow Jones menguat 2,66%. Sedangkan indeks S&P 500 dan Nasdaq melesat yang masing-masing sebesar 3,65% dan 4,14%.
Meski begitu, pasar saham global masih dibayangi oleh potensi kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sebesar 75 basis poin (bp), setelah Ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan bahwa ia dan rekan-rekannya berkomitmen untuk meredam inflasi.
"Menurut saya, orang-orang terlalu meremehkan apa yang harus dilakukan The Fed untuk melawan inflasi," tutur Direktur Utama di Richard Bernstein Advisors, Richard Bernstein dikutip CNBC International.
"Sangat ironis bahwa investor bahkan mempertimbangkan poros The Fed ketika suku bunga Fed sebenarnya tetap paling negatif secara historis. Jadi The Fed bahkan belum benar-benar memerangi inflasi dengan sungguh-sungguh. Kami tidak memiliki suku bunga dana Fed nyata yang positif. Sulit untuk membantah bahwa kita akan berubah menjadi sangat bullish dalam waktu dekar," tambahnya.
The Fed juga berencana mempercepat pengurangan neraca pada bulan ini. Tindakan ini dikhawatirkan dapat membebani ekonomi dan membuat tahun ini lebih brutal untuk saham dan obligasi.
Setelah meningkatkan neraca menjadi US$ 9 triliun setelah pandemi, The Fed mulai menurunkan beberapa Treasuries dan sekuritas berbasis hipotek yang dimilikinya pada Juni dengan kecepatan US$ 47,5 miliar. Telah diumumkan bahwa bulan ini mereka meningkatkan laju pengetatan kuantitatif menjadi US$ 95 miliar.
Skala pelonggaran The Fed belum pernah terjadi sebelumnya dan efek dari bank sentral yang mengakhiri perannya sebagai pembeli Treasuries yang konsisten dan tidak sensitif terhadap harga sejauh ini sulit untuk ditentukan dengan tepat dalam harga aset.
Selain itu, pasar akan merespon mengenai berakhirnya era suku bunga rendah untuk melawan inflasi yang kian panas. Tak hanya The Fed saja yang makin bersikap hawkish, tetapi bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) juga bersikap demikian
ECB berencana menaikkan suku bunga acuan 2% untuk dua tahun ke depan. Rencana ini muncul setelah adanya peningkatan risiko ekonomi. Ini adalah aksi dalam memerangi rekor inflasi yang mencapai 9,1% meskipun kemungkinan resesi.
ECB menaikkan suku bunga deposito dari nol menjadi 0,75% pada hari Kamis dan Presiden ECB, Christine Lagarde mengarahkan untuk dua atau tiga kenaikan lagi, mengatakan suku bunga masih jauh dari tingkat yang akan membawa inflasi kembali ke 2%.
Seorang narasumber mengatakan kepada Reuters, bahwa kemungkinan besar akan terjadi jika proyeksi inflasi ECB hingga 2025 masih di atas 2%. ECB saat ini melihat inflasi mencapai 2,3% pada 2024.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kemarin Ambruk Berjamaah, Hari Ini Bursa Asia Dibuka Beragam
