Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) sedang sangat di tahun ini. Pada Rabu (7/9/2022), indeks dolar AS menyentuh 110,78, tertinggi dalam lebih dari 20 tahun terakhir. Sepanjang tahun ini, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini mencatat penguatannya lebih dari 13%.
Perkasanya indeks dolar AS dikatakan menjadi alarm bagi bank sentral di kawasan Asia. Penguatan dolar AS bisa menekan mata uang negara masing-masing. Jika nilainya merosot tajam, maka inflasi berisiko meroket dan memberikan masalah serius bagi perekonomian.
Kuatnya dolar AS bahkan dikatakan juga berdampak buruk bagi eksportir. Padahal, ketika dolar AS menguat dan mata uang lokal melemah, maka eksportir manufaktur akan diuntungkan. Harga barangnya menjadi lebih murah, dan tentunya akan mendongkrak penjualan.
Namun, kini dengan dolar AS yang terlalu kuat, para eksportir juga mendapat masalah akibat tingginya harga energi serta bahan baku.
"kita pernah melihat krisis di masa lalu, won Korea Selatan akan menjadi yang pertama mengalami aksi jual. Setelah stabil, maka gejolak akan merembet ke Asia Tenggara dan Selatan," kata Vishnu Varathan, ekonom di Mizuho Bank yang berada di Singapura, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (8/9/2022).
Won Korea Selatan menjadi salah satu mata uang terburuk di Asia. Sepanjang tahun ini, won tercatat merosot hingga 14%. Yen Jepang bahkan lebih buruk lagi, jeblok hingga 20%.
Meski outlook perekonomian Asia masih gelap, tetapi Indonesia dikatakan masih cerah akibat tingginya harga komoditas.
"Kondisi mata uang saat ini akan sangat rentan akibat penguatan dolar AS - Indonesia khususnya - tetapi (rupiah) kini justru menjadi yang paling resilient," kata Khoon Goh, kepala riset Asia di ANZ Bank di Singapura.
"Mata uang lainnya kini menjadi lebih rentan," ujarnya.
Sepanjang tahun ini, rupiah melemah sekitar 4,2% melawan dolar AS, menjadi yang terkecil kedua setelah dolar Singapura yang melemah 3,7%.
"Saya pikir Indonesia adalah titik cerah di Asia Tenggara saat ini karena diuntungkan tingginya harga komoditas, kami juga suka Malaysia, kami pikir Malaysia juga diuntungkan dengan hal yang sama," kata Marcelo Assalin, kepala surat utang emerging market di William Blair.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> RI Waspada Harga Komoditas Turun Tahun Depan
Tingginya harga komoditas membuat neraca perdagangan Indonesia mampu mencetak surplus 27 bulan beruntun. Alhasil transaksi berjalan pun surplus, yang membuat pasokan valuta asing (valas) mengalir deras ke Indonesia.
Namun, di tahun depan pesta "durian runtuh" diperkirakan akan berakhir. Deputi Kepala BPS Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Setianto mewanti-wanti sudah ada gejala harga komoditas di pasar internasional mulai turun.
Pada Juli 2022, indeks harga komoditas energi ada di 168,58. Sementara indeks harga komoditas makanan adalah 138,63, terendah sejak serangan Rusia ke Ukraina yang dimulai Februari lalu.
"Memang hingga Juli harga global menurun baik pangan dan energi. Ini perlu diwaspadai, barangkali jadi perhatian kita sebagai tanda berakhirnya windfall harga komoditas," kata Setianto dalam konferensi pers pertengahan Agustus lalu.
Padahal, lanjut Setianto, kinerja ekspor Indonesia yang terus tumbuh lebih ditopang oleh kenaikan harga komoditas. Menurut volume, ekspor cenderung stagnan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Perry juga mengatakan hal yang sama.
"Ini (harga komoditas) tidak akan berulang atau setinggi ini tahun depan," ungkap Sri Mulyani, dalam konferensi pers usai rapat kabinet, Senin (8/8/2022).
Sementara itu Perry memberikan indikasi yang sama saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (31/8/2022).
"Yang perlu dicermati tahun depan, perekonomian dunia turun dan daya dukung ekspor tak akan sekuat 2 tahun terakhir termasuk tahun ini," ujarnya.
Artinya, jika harga komoditas akhirnya menurun, maka ada risiko neraca perdagangan dan transaksi berjalan tidak akan surplus lagi. Pasokan devisa valuta asing berisiko seret, daya tahan rupiah akan lebih lemah.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> RI Kekeringan Valas
Valas memang mengalir deras ke dalam negeri, tetapi ternyata di dalam negeri masih kekeringan. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan kredit valasnya lebih tinggi dibandingkan dana pihak ketiga valas.
Mengutip data terakhir Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit valas tumbuh 16,82% dan DPK valasnya 5,8%.
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas, Aviliani mengingatkan jika masalah likuiditas ini tidak diselesaikan segera maka industri yang memerlukan bahan baku impor akan melirik pendanaan atau kredit dari bank asing.
"Mau tidak mau ya bank kalau gak bisa kasih pinjaman mereka [pengusaha] ke bank asing," ujar Aviliani dalam Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Senin (12/9/2022).
Selain itu, 'kemarau' valas dapat mengganggu stabilitas rupiah. Risiko rupiah akan terpuruk jika permintaan valas mengalami peningkatan menjadi cukup besar.
Guna menambah pasokan valas, pemerintah yang menerbitkan global bond.Kementerian Keuangan berhasil melakukan pricing atas global bond dalam denominasi dolar AS dengan format SEC Shelf Registered dengan nominal yang diterbitkan adalah sebesar US$2,65 miliar atau sekitar Rp 39,55 triliun dalam 3 seri.
"Di tengah kondisi pasar global yang masih volatile, Pemerintah berhasil mendapatkan orderbook sebesar US$12 miliar atau 4,5 kali lipat dari total yang dimenangkan," tulis Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) dalam rilisnya, Rabu malam (7/9/2022).
TIM RISET CNBC INDONESIA