Rupiah Gagal Nanjak, Padahal Dolar AS Lagi Lesu.. Kok Bisa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah sempat terapresiasi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), kemudian berbalik arah menjadi terkoreksi hingga pada pertengahan perdagangan Senin (12/9/2022). Padahal, indeks dolar AS sedang melemah di pasar spot.
Mengacu pada data Refinitiv, rupiah menguat pada pembukaan perdagangan sebanyak 0,12% ke Rp 14.810/US$. Sayangnya, rupiah kembali terkoreksi 0,08% ke Rp 14.840/US$ pada pukul 11:00 WIB.
Indeks dolar AS yang mengukur kinerja si greenback terhadap enam mata uang lainnya bergerak melemah 0,22% ke posisi 108,75 pukul 11:00 WIB.
Namun, analis memprediksikan bahwa dolar AS dalam jangka pendek dan menengah masih dibayangi dengan katalis positif. Salah satunya adalah data Indeks Harga Konsumen (IHK) AS per Agustus 2022 yang dijadwalkan akan dirilis pada Selasa (13/9).
Konsensus analis Trading Economics dan Reuters memprediksikan IHK AS akan berada di 8,1% secara tahunan (yoy), melandai dari IHK AS per Juli 2022 yang berada di 8,5%.
Meski demikian, angka tersebut masih dinilai tinggi dan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diprediksikan masih akan menaikkan suku bunga acuannya di pertemuan selanjutnya pada 21-22 September 2022.
"Para pejabat telah dengan jelas mengartikulasikan perlunya Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) untuk terus menaikkan suku bunga sampai ada bukti kuat bahwa inflasi turun," tulis ahli strategi Commonwealth Bank of Australia Joseph Capurso dalam catatan klien dikutip Reuters.
"Terlepas dari hasil laporan IHK, kami menilai FOMC memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, yang berarti lebih banyak sisi positif untuk dolar dalam jangka pendek dan menengah," tambahnya.
Pada Jumat (9/9), Gubernur Fed Christopher Waller memberikan pidatonya bahwa dia mendukung kenaikan suku bunga acuan pada pertemuan selanjutnya untuk meredam inflasi, tapi dia tidak secara eksplisit menyerukan kenaikan sebesar tiga perempat poin persentase. Waller menilai bahwa inflasi tidak akan turun secara signifikan dan khawatir akan potensi ekonomi yang surut.
Selain itu, Waller juga memprediksikan bahwa The Fed akan berhenti mengetatkan kebijakan moneternya jika inflasi melambat. Namun, jika inflasi tetap meningkat, maka The Fed akan membawa tingkat suku bunga di atas 4%.
"Jika inflasi tidak moderat atau meningkat lebih lanjut tahun ini, maka, dalam pandangan saya, tingkat kebijakan mungkin perlu bergerak jauh di atas 4%. Namun, jika inflasi tiba-tiba melambat, maka, dalam pandangan saya, tingkat kebijakan mungkin mencapai puncaknya di bawah 4%," tuturnya.
Dari dalam negeri, jika melansir Financial Times, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pada Senin (12/9/2022) bahwa akan mempertimbangkan impor minyak Rusia untuk menjinakkan harga energi di pasar domestik.
"Kami selalu memantau semua opsi, kalau ada negara yang memberikan harga yang lebih baik, tentu saja ada kewajiban bagi pemerintah untuk mencari berbagai sumber untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat. Kami ingin mencari solusi," tuturnya.
Jika Indonesia bergabung menjadi pembeli minyak Rusia dengan China dan India, maka akan secara signifikan meningkatkan pembelian minyak Rusia berkat harga yang lebih murah, sehingga dapat mengimbangi kekosongan permintaan dari Eropa.
Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia telah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dari Rp 7.650/liter menjadi Rp 10.000/liter.
Beberapa analis bahkan memproyeksikan kenaikan tersebut akan memicu peningkatan inflasi menjadi 6-7% pada tahun ini. Analis OCBC Wellian Wiranto menilai lonjakan harga BBM akan mendorong inflasi inti akan berada di atas 4% pada akhir tahun ini.
Jika pemerintah Indonesia berhasil mencari solusi untuk mengatasi kenaikan harga energi, tentunya dapat mengendalikan angka inflasi, sehingga daya beli masyarakat pun akan terjaga untuk membantu memulihkan ekonomi.
Ternyata, Mata Uang Garuda tidak sendirian, mayoritas mata uang di Asia pun tertekan, meski dolar AS sedang terkoreksi di pasar spot. Hanya yuan China yang berhasil menguat terhadap dolar AS.
Sementara itu, baht Thailand terkoreksi paling tajam terhadap si greenback, sebesar 0,41%. Kemudian disusul oleh yen Jepang melemah 0,3%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/vap)